18 September 2011

Kenapa sih Ada Inflasi?

“Enakan jaman pak Harto, semua serba murah. nyari sandang pangan mudah RT @RCTFM: #Topix Rindu jaman orde baru (soeharto) atau lebih suka jaman sekarang (reformasi)?? share yuk #SundayWorkOut”


Melalui jejaring sosial, saya menemukan tweet di atas yang sederhana namun bermakna, yakni bagaimana kita selalu dihadapkan pada kenaikan harga barang. Kenaikan harga barang yang sering diistilahkan dengan inflasi ini pantas menjadikan masyarakat cemas, apalagi jika inflasi tinggi. Bagaimana tidak, inflasi dengan mudahnya menggerus daya beli masyarakat. Imam Semar dalam blog-nya mencoba memberikan ilustrasi secara sederhana. Gaji pembantu selama satu bulan di jaman kolonial Belanda sebesar 75 sen per bulan mampu membeli 150 bungkus nasi rames. Kalau dihitung dengan harga jaman sekarang, gaji pembantu 800.000 rupiah hanya bisa membeli 80 bungkus nasi rames. Bisa dibayangkan betapa merugikannya dampak inflasi terhadap kemampuan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Karenanya, penting bagi pemangku kebijakan seperti pemerintah dan bank sentral, serta kita sebagai masyarakat untuk berperan aktif dalam mengendalikan inflasi langsung dari akar permasalahannya.


Fenomena kekakuan sisi penawaran yang masih terdengar awam bagi sebagian besar dari kita ditengarai sebagai penyebab tingginya inflasi. Kekakuan sisi penawaran disebabkan oleh adanya persoalan di sisi struktural perekonomian sehingga belum mampu merespons sisi permintaan di masyarakat. Bahasa mudahnya, setiap kita mau membeli barang namun sulit diperoleh, otomatis harga akan naik karena penjual mencoba mengambil untung lebih besar. Logikanya, meskipun mahal, barang itu masih akan tetap dicari. Akibatnya, perekonomian akan mengalami inflasi yang tinggi.


Untuk mencari tahu apa akar permasalahan kekakuan sisi penawaran tersebut, Hausmann dkk pada tahun 2004 menawarkan metode praktis, yakni metode Growth Diagnostics. Melalui metode tersebut, kita dengan mudah dapat mengetahui bahwa sebenarnya sumber utama persoalan struktural yang kita hadapi terkait erat dengan (i) kurang efisiennya layanan birokrasi, (ii) masih tingginya persoalan dalam tatakelola publik, serta (iii) kurang memadainya ketersediaan infrastruktur, baik keras maupun lunak. Layanan birokrasi yang tidak efisien dan tatakelola publik yang bermasalah menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan oleh para pelaku usaha. Padahal peran pelaku usaha sangat penting dalam memenuhi permintaan masyarakat. Sementara itu, infrastruktur yang belum memadai mengakibatkan para pengusaha enggan membuka usaha karena membayangkan biaya lebih yang harus mereka keluarkan.Biaya tersebut timbul antara lain ketika mengurus perizinan untuk membuka usaha, pungutan liar ketika mendistribusikan barang ke daerah, sampai infrastruktur keras seperti jalanan rusak yang membuat biaya bahan bakar membengkak. Sementara itu, infrastruktur lunak yang menggambarkan kualitas manusia juga sama pentingnya. Pelaku usaha akan berpikir dua kali sebelum membuka usaha kalau para pekerja sulit memahami proses atau mengoperasikan mesin produksi.


Dalam lima tahun terakhir, berbagai kendala utama perekonomian di atas tampaknya sudah mulai membaik, khususnya dari aspek layanan birokrasi dan tatakelola publik. Perbaikan tersebut, ditambah dengan prestasi kinerja ekonomi makro kita, berdampak positif terhadap perkembangan investasi dan pada gilirannya perbaikan pada tingkat kekakuan sisi penawaran. Kemampuan sisi penawaran dalam merespons permintaan di masyarakat dalam lima tahun terakhir sudah semakin membaik meskipun belum seperti sebelum krisis 1997/98. Namun demikian, ketersediaan infrastruktur keras dan lunak belum mendukung iklim usaha di Indonesia. Oleh karena itu, langkah-langkah kerja sama antara pemerintah dengan bank sentral perlu tetap dibina dan diperluas untuk mengurangi berbagai kelemahan di sisi struktural. Dengan begitu, diharapkan investasi yang meningkat akan mampu memenuhi permintaan masyarakat dan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pada akhirnya, harga barang-barang di masyarakat akan dapat terkendali, didukung oleh sistem distribusi yang lebih lancar. Kelak, ungkapan “enakan jaman pak Harto” di atas hanya tinggal cerita belaka karena kita mampu menunjukkan bahwa kita lebih baik.

*Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari pelatihan penulisan artikel ilmiah populer di Bandung, 15-17 September 2011. Terima kasih pada Kabamedia sebagai penyelenggara atas pencerahan dan pengarahannya selama pelatihan sehingga saya semakin bersemangat untuk menulis ilmiah namun berbahasa populer. It was just great ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Sedikit pendiam, perfeksionis, dan ingin menebar kebaikan buat orang sekitar