25 Maret 2012

Liburan (lagi) ke Semarang-Solo

Akhirnya, setelah sekian lama, saya liburan lagi. Selain sempat mengalami kendala keuangan, waktu yang tersedia juga terbatas. Jadinya, ini liburan pertama saya sejak 6 bulan terakhir rasanya. Pastinya, saya kelewat semangat menyambut liburan ini. Tujuan kali ini adalah ke Semarang dan Solo. Nggak istimewa buat saya secara pribadi. Bukan apa2, saya pernah tinggal di Semarang selama setahun, jadi ini terasa biasa saja. Tapi, selama saya tinggal di Semarang, tidak ada satupun objek wisata, baik sejarah, kuliner, maupun religi yang pernah saya sambangi. Jelas nggak terpikirkan waktu itu. Sekarang, berbekal itinerary yang dibuatkan teman dan modal pengetahuan saya akan Semarang, saya atur rute wisata kami selama di Semarang. Sebenarnya tujuan awal kami adalah ke Solo, berhubung satu teman saya sudah "ngebet" mau berburu batik di Laweyan. Tapi, karena tiket pesawat ke Solo mahal, kami memutuskan untuk ke Solo via Semarang. Supaya nggak sia2, kami pun berencana menjelajah Semarang selama sehari saja untuk kemudian kami teruskan perjalanan malam harinya ke Solo.


Dengan salah satu maskapai domestik, kami terbang menuju Semarang pagi hari. Sesampainya di sana, kami sudah dijemput oleh mobil sewaan kami. Relatif murah, cukup membayar 550 ribu kami sudah diantar keliling Semarang dan diantar ke Solo, sudah termasuk bensin. Tujuan pertama adalah Kelenteng Sam Poo Kong yang terletak di pinggir Kaligarang, hanya beberapa ratus meter saja dari RS dr. Kariadi. Jam 8 pagi ternyata sudah buka, tapi loket untuk masuk ke kelenteng nggak dibuka. Entah karena masih terlalu pagi atau kelenteng itu hanya boleh dimasuki oleh umat Kong Hu Chu saja. Seolah sudah wajib, kami di sana foto2 dengan beragam pose di tempat yang seolah membawa kami ke negeri Tirai Bambu. Sekitar setengah jam saja di sana, kami menuju rumah makan mbak Lin, warung sederhana yang menjual makanan khas Jawa di seberang RS Telogorejo, nggak berapa jauh dari Simpang Lima. Di sana, menu favoritnya adalah soto ayam dan telur dadar gulung. Kami sudah makan sepuasnya, dan ternyata harga yang harus dibayar untuk 5 orang hanya 57.500 saja. Tipikal memang kalau makan di Jawa, selain enak pasti murah.

Tujuan berikutnya, kami ke Kota Lama. Di sana, saya bawa teman2 ke Gereja Blenduk. Sesuai namanya, gereja ini menjadi unik dan terkenal karena atapnya yang berbentuk kubah, seperti sebuah masjid. Di sana, kami berfoto ala jaman kolonial sambil menunggangi sepeda lama yang disewakan 20 ribu per jam. Kami menyusuri ke bagian dalam Kota Lama dengan sepeda itu sambil berburu angle foto yang menarik. Sekitar sejam di sana, kami melanjutkan perjalanan ke kampung batik yang berlokasi di bundaran pertemuan antara Jl. Ronggowarsito, Jl. KH Agus Salim, Jl. Pattimura dan Jl MT Haryono. Letaknya di sisi timur. Batik, memang Semarang punya batik? Yup, ternyata ada. Memang saya belum pernah dengar ada yang namanya Batik Semarang. Tapi dari hasil pencarian di web, ternyata memang ada. Katanya sih jaman Jepang pembatik2 ini sempat menghilang karena mengungsi ke selatan, entah itu Salatiga, Solo, atau Yogya. Puluhan tahun lamanya, tepatnya tahun 2005, istri Walikota memprakarsai bangkitnya batik Semarang sebagai warisan budaya lokal yang perlu dilestarikan. Sekilas, dari jalan besar nggak kelihatan seperti kampung batik. Apalagi, papan petunjuk yang menandakan kawasan ini sebagai kampung batik pun minim. Tapi, ternyata di dalam kampung ada beberapa toko rumahan penjual batik meskipun masih sepi karena waktu kami datang masih sekitar jam 10 pagi dan toko sebagian masih tutup. Kami pun hanya mendatangi beberapa toko yang sudah buka saja. Sekilas, batik2 ini tampak kurang menarik mata dan selera. Barangkali karena belum pernah lihat, motif yang mereka kembangkan nggak familiar di mata kita yang lebih sering dicekoki dengan batik motif Solo, Yogya, Pekalongan, atau lainnya yang dominan dengan motif kembang. Lain halnya dengan batik Semarang yang didominasi motif daun asem sebagai ciri khasnya, dan beberapa motif landmark Semarang seperti Gereja Blenduk dan Lawang Sewu. AKhirnya, dari sekian toko, saya dapat juga motif batik yang saya suka, cukup dengan 80 ribu saja untuk 2 meter kain batik kombinasi cap dan tulis.

Puas berbelanja, kami mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah yang katanya fenomenal karena ada tenda elektrik seperti yang di masjid besar Arab Saudi. Memang megah dan mewah, tapi karena cuaca terlalu panas, kami semua seperti kelimpungan, bahkan sakit kepala. Nggak lama foto2, kami pun bergerak ke Simpang Lima lagi untuk sholat Jumat buat yang cowok2, dan cuci mata di mall buat yang cewek2 sambil nunggu sholat. Usai sholat, kami pun makan siang di warung Soto Bangkong di perempatan antara Jl. Mataram, Jl. Brigjen Katamso, dan Jl. MT Haryono. Warung Soto Bangkong ini sih katanya yang pertama di Semarang sebelum akhirnya merambah daerah2 lain di Indonesia. Sotonya enak, walaupun buat sebagian teman kurang cocok di lidah karena manis. Kami membayar 72 ribu untuk berlima. Murah bukan?

Selesai makan, kami lanjutkan perjalanan ke Pandanaran untuk beli oleh2. Biarpun kami pulang dari Semarang hari Minggu lusa, tapi kami ambil pesawat pagi, jadi nggak akan sempat beli oleh2, makanya kami sempatkan belinya hari Jumat ini. Di sana, kami ke toko bandeng Juwana. Nggak cuma bandeng, kami beli beberapa panganan lain seperti lumpia, cookies, tahu bakso, dan lain2. Sejam berburu makanan, kami lanjut ke kawasan Tugu Muda. Di sana, kami mampir ke Lawang Sewu yang dulunya terkenal angker. Sekarang, bangunan ini sudah dikembalikan fungsinya oleh PT KAI yang memang menjadi pemilik gedung ini, tapi lebih dominan sebagai museum. Sayang, gedung A yang menjadi bangunan utama di sisi jalan sedang ditutup karena ada pemugaran lanjutan. Tapi kami cukup puas mengunjungi gedung lainnya yang ada di kompleks itu. Dengan tiket masuk 10 ribu per orang, harusnya kami dapat pemandu. Tapi karena kebetulan sore itu lagi ramai, kami jalan sendiri. Untungnya di sana ada peta panduan jelajah museum, jadi nggak salah arah dan optimal. Foto2, itu sudah pasti, apalagi dengan latar puluhan pintu, jendela, dan pilar, membuat hasil foto lain dari yang lain. Di depan museum terdapat lokomotif tua yang jadi objek foto lainnya yang nggak kalah menarik. saya lupa lihat tahun pembuatannya, tapi dari bentuknya, saya yakin itu pasti buatan akhir abad ke-19.

Selesai keliling, kami berfoto di seberang Tugu Muda. Tanpa berlama2, kami pun segera meluncur menuju Solo jam 4 sore itu. Kebetulan, perjalanan ke Solo melewati Banyumanik. Nggak jauh dari sana, ada Pagoda Avalokitslava, rumah ibadah umat Buddha. Lagi2, bangunan ini seolah membawa kami ke China seperti di kelenteng tadi pagi. Di sana ada orang yang sedang sembahyang, jadi kami cuma berfoto2 di depan pagoda saja. Masuk ke pagoda sini nggak dipungut bayaran, tapi kata pak satpamnya seikhlasnya saja. Hari makin sore, kami pun meluncur ke selatan menuju Solo. Keluar Semarang, kami mampir di Ungaran sebentar. Saya sempatkan ketemu saudara2 saya meskipun cuma setengah jam. Nggak puas ngobrol, tapi kami tetap harus lanjutkan perjalanan, tapi sebelum itu kami sempatkan ke toko tahu bakso Ibu Pudji yang terkenal itu. Relatif murah, 1800 per buah, saya pun borong 6 kotak masing2 isi 10 ;)

Sekitar 2 jam perjalanan saya habiskan untuk tidur karena sakit kepala sejak tadi siang. Sampai di Solo, kami langsung menuju guest house yang sudah kami pesan. Letaknya di Monumen 45, nggak jauh dari Stasiun Solobalapan. Malam itu, karena kecapekan, kami pesan makan lewat penjaga guest house. Habis makan pun kami langsung tidur. Rencana awal kami makan gudeg yang terkenal karena jualan mulai jam 2 pagi pun batal karena terlalu capek. Bahkan, rencana mengunjungi beberapa objek wisata pun akhirnya batal karena selain mau fokus belanja di Laweyan, sorenya pun kami harus sudah kembali ke Semarang. Dengan bermodalkan 2 becak, kami menuju Laweyan setelah sarapan di warung gudeg Ayu di dekat hotel. Untuk berlima dan 2 abang becak, kami cukup merogoh kocek 100 ribu saja. Tanpa buang waktu, kami ngubek2 Laweyan. Saya sibuk menyusuri gang, cari toko yang pernah saya datangi 3 tahun yang lalu. Lupa2 ingat, akhirnya ketemu. Nama tokonya Saud Effendy, bentuknya rumah biasa dan nggak ada papan pengenal toko. Tapi itu yang membuatnya unik. Saya borong 2 baju batik di sana, sambil melihat2 pembuatan batik cap dan tulis di workshop belakang rumah. Pembuatannya unik dan butuh stamina pastinya karena udara panas dan pengap, apalagi banyak asap dari tungku pemanasan lilin. Sekitar 4 jam di sana, kami masing2 sudah bawa tentengan. Selesai sholat dan makan, dua becak berpisah. Satu ke arah pasar Gede karena teman mau beli titipan papanya di Yogya, sementara saya ke arah pasar Klewer karena mau ke Danar Hadi. Selesai belanja, kami ke Orion untuk beli kue mandarijn yang terkenal itu. Sayang, karena sudah jam 3 sore, kue itu sudah ludes terjual. Kamipun akhirnya beli bolu gulung saja. Pulang ke guest house untuk packing, kami lalu meluncur Slamet Riyadi dengan taksi avanza untuk kembali ke Semarang pakai Joglo Semar, travel andalan saya. Sambil menunggu keberangkatan, saya cari jajanan di pinggir jalan. Ternyata banyak yang jual nasi kucing. Dua bungkus tambah tempe bacem dan sosis ayam, saya hanya perlu membayar 4 ribu saja.

Akhirnya jam 5 sore kami pun kembali ke Semarang. Sesampainya di sana, kami dijemput teman kantor yang bertugas di sana. Kami pun dibawa makan2 di Taman KB di Jl. Menteri Supeno. Dulu daerah ini nggak terawat, gelap, dan banyak banser (banci serem) berkeliaran. Tapi sekarang, tempat ini sudah terang, bersih, dan jadi tempat nongkrong anak muda menghabiskan malam minggu. Di sana, akhirnya saya makan yang namanya Tahu Gimbal setelah penasaran sejak pertama saya tinggal lama di Semarang tahun 1999 lalu. Ditemani es duren, kami mengobrol semalam suntuk. Esok shubuh, kami pun ke bandara untuk pulang ke Jakarta. Lunpia sudah jadi oleh2 yang wajib saya bawa. Cukup telp Lunpia Express sehari sebelumnya, mereka bisa antar ke bandara meskipun jam 5 pagi sebelum tokonya sendiri buka. Meskipun libur hanya 2 hari dan lebih didominasi belanja batik, tapi nggak mengurangi semangat untuk berlibur. 2 minggu lagi ada libur panjang, ke mana ya baiknya? ;)

---
Total pengeluaran per orang +/- 1,6 juta
Tiket p.p. Jakarta-Semarang: 1.169.600
Akomodasi (makan, transportasi, tiket masuk, oleh2): 548.000

14 Maret 2012

SKJ 88: memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat

Malam sebelum tidur, tiba2 terlintas pengen lihat youtube, siapa tau ada video senam SKJ 88 yang super duper beken pada masanya. Musiknya saja sudah tertanam kuat di memori. Makin penasaran jadinya. Buka sebentar, yap, ada memang videonya. Dari 237 juta rakyat Indonesia, senggaknya pasti ada 1 orang yang tergerak mengunggahnya hehehe.
Awalnya, saya agak lupa dengan gerakan senamnya, tapi setelah lihat videonya, saya mulai ingat. Gerakannya sederhana, tapi cukup gampang diingat dan diikuti orang. Dengan begitu, semua generasi sebetulnya bisa melakukannya, mulai dari anak2 sampai orang tua. Entah siapa yang merancang gerakan dan menciptakan lagunya, tapi kombinasi keduanya membuat senam SKJ 88 menjadi favorit masyarakat dengan caranya sendiri. Ada yang dibuat rutin setiap hari jumat di sekolah, ada juga yang dibuat sebagai bahan ujian ebta praktek.
Senam SKJ 88 ini menjadi bagian kampanye pemerintah Orde Baru dalam memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Upaya ini nggak lain untuk mencetak generasi yang sehat, kuat, nggak loyo, dan bisa diandalkan. Upaya ini berjalan seiring dengan program pemerintah Orde Baru lainnya yang dalam teori ekonomi dikenal dengan istilah "pertumbuhan ekonomi yang berkualitas". Pertumbuhan ini ditandai dengan penurunan kemiskinan dan pengangguran, naiknya pendapatan per kapita, berkurangnya kesenjangan sosial, meningkatkan rasa aman di masyarakat, juga disertai dengan mudahnya mengakses fasilitas dasar terkait infrastruktur, pendidikan, kesehatan, teknologi, inovasi, dan ketahanan pangan. Sebut saja di antaranya, program KB, posyandu, puskesmas, siskamling, swasembada pangan, kontrol harga pangan strategis melalui BULOG, pendidikan wajib belajar (wajar) 9 tahun, pembangunan industri pesawat terbang, pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, irigasi dan bendungan, sampai senam SKJ 88 ini.
Terlepas dari dugaan adanya sisi kelam Orde Baru dalam hal penegakan HAM, kebebasan berpendapat, dan korupsi yang tersistematis, Orde Baru setidaknya menaruh perhatian besar pada penciptaan kualitas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas manusia Indonesia yang dirasa sangat akseleratif dan progresif ketika itu. Apa yang mereka lakukan sejalan dengan teori pertumbuhan ekonomi endogen, di mana peran manusia sangat penting dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable) mengingat peran kapital yang akan semakin terbatas dalam jangka panjang akibat adanya diminishing return to capital.
Memang banyak hal buruk di masa lalu yang sudah menjadi bagian dari sejarah, tapi masih nggak kalah banyak hal positif di masa lalu yang sejatinya masih bisa kita lestarikan, salah satunya senam SKJ ini. Nggak terasa 24 tahun yang lalu saya pelajari, ikuti, dan ingat gerakan senam itu. Rasanya sekarang perlu menggalakkan program penyehatan massal itu lagi untuk generasi mendatang. Program lainnya yang sempat terhenti idealnya dihidupkan kembali untuk menjamin peningkatan kualitas manusia Indonesia ke depan. Semoga!

Mengenai Saya

Foto saya
Sedikit pendiam, perfeksionis, dan ingin menebar kebaikan buat orang sekitar