16 November 2010

Dasar Penyebab Perbedaan Penentuan Kalender Qomariyah


Saya kutip dari blog tetangga, semoga bermanfaat.
Kalau saya pribadi lebih condong kepada hal yang pasti. Adapun ketika zaman Rasulullah saw berpedoman pada ru'yat, semata2 karena keterbatasan ilmu dan teknologi ketika itu. Sementara di zaman sekarang, dengan dibantu teknologi yang sudah ada, kita bisa menentukan secara akurat dan hampir pasti ijtima' bulan.
Sementara itu, pada ru'yat mereka tetap berpedoman dengan hitungan minimal 2 derajat di atas ufuk sebagai batas masuknya bulan baru, tentu dengan catatan hilal terlihat. Yang masih menjadi pertanyaan saya, dari mana asal usul persyaratan 2 derajat itu, dari hadits, perhitungan, atau apa. Kalau ada yang tau mohon pencerahan dan infonya ya. Kalau memang ada unsur hitungan dalam penampakan hilal, kenapa nggak yang pasti2 saja dengan ilmu astronomi yang sudah ada? Toh sama2 hitungan :)
Bagaimanapun, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, itulah indahnya Islam. Toh kalau salah masih dapat pahala satu kan? Wallahu a'lam bish-shawaab.
---
Seringnya perbedaan penetapan dalam menentukan Bulan Qamariyah (Berdasarkan Bulan) terutama dalam penetapan Iedul Fitri dan Iedul Adha, menimbulkan banyak pertanyaan bahkan ada sebagian yang dibuat bingung karenanya. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan karena kita butuh kepastian dan setidaknya yang paling mendekati dengan Quran dan Sunnah, serta ketenangan dalam beribadah. Mengenai perbedaan penetapan waktu ini disebabkan perbedaan criteria, yaitu antara criteria wujudul hilal dan Imkanur rukyat. Mari kita kaji mana kah yang lebih kuat.
A.      Wujudul Hilal
Wujud artinya ada, sedangkan hilal adalah pantulan sinar bulan ke bumi yang berbentuk kelengkungan. Maksudnya adalah saat matahari tenggelam, hilal (bulan sabit muda) suda ada di atas ufuk mar’I (berapapun tingginya, terlihat atau tidak terlihat). Alas an diberlakukannya pendapat ini adalah dengan perkembangan IPTEK saat ini, posisi hlal sudah dapat dihitung secara teliti dan tidak diragukan (hampir pasti).
Untuk kelompok wujudul hilal awal bulan diteteapkan jika terpenuhi dua syarat berikut:
a.       Ijtima’ (posisi bulan dan matahari berada dalam satu bujur astronomis. Dilihat dari bumi, bulan sejajar dengan matahari) terjadi sebelum matahari terbenam.
b.      Saat ghurub (setelah itima’) hilal/bulan berada di atas ufuq mar’I (garis horizon/cakrawala yang terliat oleh mata seseorang). Berapa pun ketinggianna, terlihat ataupun tidak
Adapun dalil yang dijadikan landasannya adalah ayat al-Quran berikut ini:

189. mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[1], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.(QS. Al-Baqarah:189)

[1] Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. hal ini ditanyakan pula oleh Para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah ayat ini.

39. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua[2].
40. tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yaasin:39-40)

[2] Maksudnya: bulan-bulan itu pada Awal bulan, kecil berbentuk sabit, kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, Dia menjadi purnama, kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang melengkung.

Aayat pertama mengandung arti bahwa hilal (bulan sabit muda) dapat dijadikan pedoman waktu untuk manusia, terutama dalam melaksanakan ibadah haji harus dijadikan acuan miqat zamani. Mengenai kapan, bagaimana, kea rah mana kita lihat hilal, ayat tadi tidak membicarakannya.
Petunjuk lebih jells dapat kita temukan dalam surat yaasin:39-40, sebagaimana dijelaskan oleh H. Saadoe’ddin Djambek dalam bukunya “Hisab Awal Bulan Qamariyah”, ayat ke 39 surat Yasin tersebut menjadi petunjuk bahwa kembalinya bentuk bulan seperti tandan tua sebagai awal pergantian bulan hijriyyah. Bentuk bulan seperti itu dapat dilihat dari bumi menjeang dan setelah bulan mati (Ijtima’). Ntuk mengetahui bulan sabit yang mana yang dimaksud dalam ayat ini, maka ayat selanjutnya menerangkan “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan (mengejar) bulan”

Penggalan arti ayat diatas menerangkan tentang perjalanan semua tahunan matahari dan perjalanan hakiki bulan, dimana perjalanan bulan lebih cepat 12 Ú per harinya dibandingkan dengan matahari. Oleh Karen itu tidak matahari dapat mengejarnya. Per harinya matahari bergeser kearah timur sebesar 0 Ú 59’ 8.25”. hampir 1̊ (360Ú : 365.25 hari), sedngkan bulan bergerak kearah timur sebesar 13Ú 10’ 37.77”/hari (360Ú:27.32 hari). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan bulan sabit pada ayat di atas adalah bulan sabit yang terjadi setelah terkejarnya matahari oleh bulan atau dengan kata lain setelah terjadinya ijtima’.

Apa yang jadi patokan bahwa perjalanan bulan telah mendahului matahari? Atau kalau diibaratkan perlombaan mana garis finisnya? Penggalan ayat selanjutnya mengatakan “dan malam pun tidak dapat mendahului siang”. Rupanya ayat ini menginformasikan tentang ufuk/horizon barat. Karena yang dapat memisahkan antara siang dan malam adalah garis ufuk barat setempat.Suatu tempat akan mengalami malam apabila matahari sudah masuk atau berada dibawah ufuk, sedangkan kalau matahari masih diatas ufuk maka tempat itu mengalami siang. Dengan demikian bulan akan dikatakan telah mendahului matahari apabila ketika matahari mendekati garis finis (ufuk barat) bulan telah berada disebelah timurnya-karena perlombaan tersebut berlaku dari arah barat kearah timur-. Atau dengan perkataan lain ketika matahari terbenam di ufuk barat, bulan sudah ada di atasnya, karena ke bawah menunjukan barat dan ke atas menunjukan timur.

B.       Kritik Terhadap Kriteria Wujudul Hilal

Dari segi sumber dalil yang dijadikan landasan untuk penentuan ABQ, criteria wujudul—hilal ini hanya berdasarkan Al-quran saja. ADapun hadits-hadits yang menjelaskan tentang praktek penentuan ABQ pada masa rasul SAW tidak dijadikan landasan hokum. Padahal kalu kita hubungkan dengan fungsi hadits terhadap al-quran, fungsinya adalah untuk menjelaskan atau memperinci dai-dalil al-Quran- dalam hal ini tentang ABQ- yang masih bersifat mujmal (Global). Kalaupun digunakan, maka pengertian yang sebenarnya dari hadits-hadits tersebut diselewengkan, yaitu dengan menerjemahkan lafazh “ra aytul hilaal” (melihat dengan akal pikiran).

Untuk mengetahuivaliditas (kebenaran) dari pendapat di atas, mak lafazh ra ay tersebut harus diuji dengan kaidah-kaidah bahasa yang telah dibuat oleh par ahli tenang makna-makna sutu lafazhm lafazh (ra ay) di atas bisa ditempatkan pada dua kemungkinan, kemungkinan pertama termasuk lafazh musytarak, yaitu lafazh yang mempunyai beberapa arti. Dimana arti-arti tersebut adalah, melihat dengan mata, melihat dengan akal pikiran, dan melihat dengan hati.

Menurut point dalam kaidah kedua di atas, apabila persekutuan makna dalam nash syar’I tersebut terjadi antara beberapa makna lughawi, maka seseorang wajib berijtihad untuk menentukan arti yang dimaksud. Sebab syar’I (pembuat syariat) niscaya tidak menghendaki seluruh arti lfazh musytarak, melainkan salah satu arti dari beberapa arti yang tiga macam itu. Oleh karena itu seorang mujtahid harus sanggup menunjukan qarinah (keterngan pendukung) atau dalil-dalil yang dapat menentukan arti yang dikehendaki.
Bagi yang mengartikanlafazh (ra ay) melihat dengan qarinahnya adalah konteks kalimat dari hadits-hadits tentang praktek penentuan ABQ di zaman Rasulullah SAW, yang salah satunya hadits dibawah ini:

“Seorang badwi mendatangi Rasulullah SAW, ia berkata: Sesungguhnya saya telah melihat hilal (Ramadhan), “Rasul bertanya: “Apakah engkau mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah?’ Orang badwi tersebut menjawab “Ya”. Rasul bertanya lagi “Apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasul Allah?’ orang badwi menjawab “Ya”. Kemudian Rasul bersabda “ya Bilal, beriahukanlah kepada orang-orang supaya shaum esok hari”

Berdasarkan hadits diatas kita mengetahui bahwa melihat hilalnya orag badwi (arabgunung) adalah penglihatan dengan mata kepalanya sendiri, bukan dengan akal pikiran atau dengan hatinya. Sesuai dengan keumuman masyarkat arab pada waktu itu yang ummi terlebih lagi orang arab gunung diatas, tidak mungkin dia melihat hilal dengan akal pikirannya atau dengan hasil hisabnya.

Memang betul kata (ra ay yari) bisa diartikan melihat dengan akal pikiran tetapi harus melihat dulu konteks kalimatya dan ada qarinahnya untuk bisa diartikan dengannya, misalnya kalimat dalam surat al-Fiil:1harus diartikan dengan akal pikiran karena nabi SAW yang baru lahir saat itu belum bisa menyaksikan peristiwa dihancurkannya tentara bergajah. Tetapi semua lafazh (ra ay) dalam hadits-hadits ABQ memiliki arti melihat dengan mata, karena dari segi konteks mengharuskannya demikin dan juga tidak ada qarinah lain yang memalingkan artinya selain melihat dengan mata.

Kemungkinna yang kedua, lafazh (ra  ay) nii dikategorikan lafazh hakiki atau majazi. Hakiki maksudnya arti yang sebenarnya, sedangkan majazi maksudnya arti pinjaman, bukan sebenarnya.

Dalam hal ini para ahli ushul membuat kaidah sebagai berikut:
1.       Lafazh hakikat (sebenarnya) harus diamalkan menurut arti yang semula diciptakan untuknya.
2.       Jika suatu lafazh dapat diartikan dengan arti hakiki dan majazi hendaklah diartikan dengan arti yang hakiki, karena arti hakiki itulah yang asli.

Jadi, berdasarkan kaidah diatas mengartikan (ra ay) melihat dengan mata itu lebih shahih dibandingkan dengan melihat pakai pikiran atau melihat dengan hati, karena denga mata merupakan arti hakikinya (asli)

C.       Imkanur-Ru’yat

Menurut bahasa, imkan artinya mungkin atau memungkinkan, sedang ru’yat artinya melihat, maksudnya posisi hilal saat terbenam matahari harus sudah memungkinkan untuk dilihat.
Kelompok ini berpendapat bahwa, agar hilal disebut wujud, selain hilal harus berada di atas ufuk (saat maghrib setelah ijtima’), hilal (yang berada di atas ufuk) tersebut juga harus memungkinkan untuk diru’yat (imkan-ru’yat), untuk kelompok imkanurru’yat awal bulan ditetapkan jika terpenuhi tiga syarat sebaga berikut:
a.        Ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam
b.       Saat matahari gurub, hilal beradadiatas ufuq mar’i
c.        Hilal yang berada di atas ufuq tersebut harus memungkinkan untuk diru’yat
Syarat hilal agar memingkinkan untuk diru;yat menurut criteria MABIMS (Menter Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) adalah:
-          Tinggi (irtifa’) hilal minimal 2̊ ̊
-          Selisih azimuth matahari dan bulan minimal 3̊ ̊(jarak horizontal bulan-matahari)
-          Umur bulan dan matahari berdasarkan imkanur-ru’yat dapat digambarkan sebagai berikut;

Dail-dalil imkanu-ru’yat tersebut antara lain
1.        matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (QS. Ar-Rahman:5)

Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS.Al-AN’am:96)

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[3]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus:5)

[3] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.

dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Yaasin: 38)

36. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[4]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri[5] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(QS. AT-taubah: 36)

[4] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.
[5] Maksudnya janganlah kamu Menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan Mengadakan peperangan.


mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.(QS. Al-Baqarah:189)

39. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua.
40. tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yaasin:39-40)

2.       Hadits-hadits Rasul SAW tentang ABQ, diantaranya:

Shaumlah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari. (HR. Bukhariy Muslim)

Shaumlah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal, Tetapi jika diantara kalian dengan hilal terhalang awan, maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari. (HR Ahmad bin hanbal)

Shaumah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah shaum bila kalian melihatnya (Hilal). Tetapi jika  kalian terhalang maka tetapkanlah (shaum) 30 hari. (HR. Muslim)

Apabila kalian melihat hilal maka shaumlah, dan jika kalian melihat hilal (kembali) maka akhirilah shaum. Tetapi jika terhalang (sehingga hilal tidak terlihat) shaumlah 30 hari (HR. Muslim)

Lafazh fain ghabya ‘alaykum-fain haala baynakum wabaynahu sahaabun-fain aghmiya ‘alaykum-fain ghamma ‘alaykum

Dalam hadits diatas mengandung makna bahwa jika hilal tidak terlihat atau terhalang (walaupun beradadiatas uduk) maka hilal dianggap tidak/belum wujud. Artinya posisi hilal zaman rasul tidak hanya beradadi atas ufukmar’I saja tetapi hilal yang dapat terlihat sebagai cahaya pertama yang dipantulkan bulan setelah ijtima’

Jadi menurut kelompok imkanur-ru’yat yang disebut hilal adalah cahaya yang dipantulkan bulan setelah ijtima’, pda saat maghrib terlihat berupa garis lengkung putih. Sedangkan menurt kelompok wujudul hilal, hilal didefinisikan sebagai posisi bulan setelah ijtima’ dan pada saat maghrib berada di atas ufuk, walau belum tentu terlihat berupa garis lengkung putih

Padahal dalam bahasa Arab untuk bulan itu dikenal beberapa istilah, antara lain:
a.        Al-Qamaru: benda langit berupa satelit alam yang beredar mengelilingi bumi
b.       Al-hulalu: cahaya yang dupantulkan bulan berupa garis lengkung putih terlihat setelah ijtima’ sa’at maghrib (pantulan cahaya minimal)
c.        Al-Badru: cahaya yang dipantulkan bulan berupa lingkaran penuh (purnama / fullmoon/pantulan cahaya maksimal)

D.       Keberlakuan hasil Hisab Dan Ru’yat
Dalam khazanah fiqh, ditemukan tiga pendapat mengenai keberlakuan hasil hisab dan ru’yat ini. Pertama, hasil ru’yat (hisab) itu hanya berlaku untuk wilayah yang melihat hilal saja, sedangkan yang tidak melihat hilal, bulan yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari. Keuda, hasil ru’yat (hisab) itu berlaku untuk seluruh wilayah kekuasaan hakim (satu Negara). Ketiga. Hasil itu berlaku untuk seluruh dunia.

Pendapat pertama didasarkan pada hadits riwayat Muslim dan Kuraib, dimana pada waktu itu antara Syam dan Madinah berbeda dalam memulai bulan Ramadhan, Padahal Syam dan Madinah itu berada dalam satu wilayah kekhalifahan Mu’awiyah. Ketika hal itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas beliau menjawab “Demikianlah rasulullah memerintah kami” artinya hasil ru’yat itu berlaku hanya untuk daerah yang melihat saja

Adapun pendapat kedua dan ketiga didasarkan kepada dalil umum tentang memulai puasa, dimana rasulullah SAW bersabda “Shaumlah kamu setelah melihat hilal) hadits tersebut dan hadits-hadits yang semakna dengannya memerintahkan kepada umat Islam dimana saja untuk shaum tanpa dibatasi oleh lokasi, daerah atau wilayah kekuasaan. Dengan perkataan lain, hasil hisab ru’yat itu berlaku untuk satu wilayah kekuasaan hakim (Negara), bahkan untuk seluruh dunia.

E.        Kesimpulan
1.       Landasan hokum criteria wujudul-hilal hanya dalil-dalil Al-Quran saja yang bserifat majmul (global), sedangkan criteria imkanur-ru’yat berdasarkan al-Quan dan al-hadits elalui cara istinbath yang dibuat dan disepakati oleh para ahli ushul fiqih
2.       Kriteria Imkanur-ru’yat adalah criteria yang dapat menyatukan antr wujudul-hilal dengan ahli ru’yat
3.       Menyarankan kepada pihak yang berpedoman wihdatul-mathali’ fi wilayatil-hukmi, kalau mau berpegang teguh kepada wujudul-hilal. Maka markaznya harus digeser ke kota paling timur di Indonesia, misalnya jayapura atau Merauke, jangan di kota Yogyakarta misalnya. Supaya seluruh wilayah Indoneia hilalnya positif di atas ufuk. Wallahu a’lam bis-shawab.
ket: ABQ (Awal Bulan Qamariyah)

03 November 2010

Renungan di akhir minggu

Di akhir minggu kemarin, ada renungan yang saya petik. Rasanya kurang lengkap kalau nggak saya tulis untuk saya baca lagi kelak ^^

Saya mungkin sebagian kecil orang yang terlambat tau tentang bencana di Mentawai karena gempa dan tsunami, juga di Yogya karena letusan Gunung Merapi. Di berita dibilang kalau mbah Maridjan meninggal dalam kondisi bersujud akibat terkena awan panas. Pikiran pertama yang muncul di benak saya waktu itu, konyol banget, udah ngerti ada wedhus gembel bukannya lari, ini malah tinggal di situ. Tapi setelah ada orang yang memandang dari sisi lain, saya baru sadar. Ternyata mbah Maridjan itu sosok yang sulit ditemui di jaman sekarang ini, yaitu orang yang berpasrah diri dan memegang amanah hingga ajal menjemput. Kalau mengaca pada pemimpin negeri ini, sangat teramat sulit mendapati mereka yang bisa memegang teguh amanah sampai sebegitunya. Barangkali ketika awan panas sudah mendekat, beliau hanya berpasrah diri dan berharap kematian yang segera datang itu menjadi kematian yang membahagiakan dan husnul khotimah. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisiNya. Amin.

Renungan lainnya waktu saya sakit mendadak hari Sabtu kemarin. Selama sakit, saya cuma terbaring sambil nonton serial Ghost Whisperer, diputar di Star World. Ceritanya seputar hantu yang nggak bisa masuk ke Cahaya karena masih ada urusan di dunia yang belum selesai. Apa yang saya dapat bukan masalah hantu, tapi kita sendiri kalau sudah meninggal. Nggak kebayang aja, yang tadinya masih bisa senang2, jalan2, ketawa2, tiba2 jasad terbujur kaku sementara arwahnya ke alam barzah. Mending kalau nggak diapa2in, kalau disiksa gimana ya? Na'udzubillah. Akan seperti apa dan berapa lama kehidupan setelah mati, wallahu a'lam. Semua yang bernyawa akan merasakan mati, tapi semoga dengan cara yang baik dan penuh berkah, amin.

Oia, kemarin Jumat (29/10) beberapa teman mengadakan perpisahan dengan mba Dhini yang pindah ke direktorat lain. Sedih jelas, gimanapun selama 3 tahun saya dididik sama mba Dhini untuk jadi staf yang kritis, berani, dan peneliti yang jujur. Makasih ya mba atas bimbingannya selama ini. Maaf kalau selama kita berinteraksi kadang ada kerikil dan batu kali yang menghadang :)

Mengenai Saya

Foto saya
Sedikit pendiam, perfeksionis, dan ingin menebar kebaikan buat orang sekitar