13 April 2010

Makanan Halal, Di Manakah Kalian?

Ironis, kita hidup di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tapi kenapa untuk makan makanan halal di restoran saja sedemikian sulit. Tulisan ini saya buat tanpa niat sama sekali menghina teman, saudara, atau rekan yang memakan makanan tertentu, tapi ini semata untuk mengingatkan saudara seiman dengan cara yang baik dan nggak menyinggung perasaan siapapun.

Saya mungkin bisa dibilang paling rewel untuk hal yang satu itu. Bagaimana nggak, setiap ada acara makan di luar dalam rangka traktiran teman2, saya pasti tanya status makanan di restoran itu. Sampai2 restoran itu saya telpon dan interogasi apakah makanannya layak dikonsumsi oleh muslim atau nggak. Lucunya, kalau saya bertanya apakah makanan yang dijual halal atau nggak, mereka mengatakan halal. Tapi, lain lagi ceritanya kalau saya bertanya baik2 mana makanan yang nggak bisa saya konsumsi mengingat saya seorang muslim. Alhasil, hampir semua menu terlontar dari mulut sang pelayan dan manajer restoran yang menyatakan bahwa makanan mereka tercampur dengan hal yang berbau alkohol atau b2.
Kalau ada oleh2 coklat atau apapun dari luar, saya jadi orang pertama yang browsing untuk cari status halalnya. Bukan tidak menghargai pemberian mereka, tapi apa yang saya lakukan semata2 hanya untuk tunduk patuh pada perintahNya, yaitu dengan memakan makanan halal dan baik.
Makanan halal memang nggak mudah untuk didapat, karena untuk menjadi makanan yang dikatakan halal tidaklah mudah. Pertama, makanan itu bukan sesuatu yang dilarang untuk dikonsumsi. Kedua, makanan itu harus disembelih dengan nama Alloh. Ketiga, cara memperoleh makanan itupun harus dengan cara yang baik.
Nah, dari ketiga kategori itu, rasanya kalau kita hanya sekadar makan daging yang bukan b2 pun belum tentu halal, karena siapa tau daging itu dimasak dengan (katakanlah) angciu, semacam arak merah.

Rasanya, yang harus mulai diperbaiki adalah kesadaran masing2 setidaknya untuk memiliki rasa ingin tahu apakah makanan yang mereka makan halal atau tidak. Lalu, sudah sepatutnya lembaga yang berwenang untuk menyatakan suatu makanan berlabel halal atau nggak (dalam hal ini MUI) memperluas ruang geraknya sehingga kepentingan umat dapat terjaga. Untuk yang merasa tersinggung bagi orang yang mentraktir atau membawa oleh2, rasanya nggak rugi juga kalau mencoba menghargai kami yang nggak mau makan makanan yang dilarang agama, sama halnya dengan kami yang nggak mengusik dan mencela mereka ketika mereka mengkonsumsi makanan2 itu. Yuk, mari kita galakkan program makan makanan halal :)

09 April 2010

Another Trip: the US (habis)

Karena perjalanan panjang dan kerja lembur saya jadi belum sempat ngeblog lagi. Pengen lanjut cerita lagi hehe..

Hari Jumat (26/3) hari terakhir kursus. Di penghujung kursus saya minta Prof pengajar membubuhkan tanda tangannya di buku yang dia beri pada para peserta kursus. Kapan lagi kan :)
Selepas sholat Ashar, saya pergi ke Potomac Mills, semacam mall tapi lebih mirip hanggar saking luasnya. Lokasinya di Virginia, kurang lebih 2 jam dari DC. Lumayan jauh dan capek, tapi pengalaman liat country side seru juga. Jalan tol yang macet dengan tipe kendaraan yang belum pernah saya lihat, belum lagi model mall yang nggak biasa, lengkap dengan hutan kota yang sangat2 terawat. Saya naik Metro sampai stasiun Franconia, dari situ disambung bis. Saya nggak lama di sana karena harus mengejar bis ke arah Franconia. Bukan apa2, bis itu agak jarang. Bisa sampai 1 jam jarak dari bis satu ke bis yang lain. Alhasil, saya sampai rumah mas Erwin jam setengah 12 malam. Hehehe..
Hari Sabtu (27/3) hari terakhir saya di DC, karena saya berniat pergi ke NY. Saya diajak mas Erwin sekeluarga ke Cherry Blossom Festival. Kami pergi ke Tidal Basin, tempat bunga sakura bertebaran dengan indahnya. Sayang belum masuk masa puncak mekar, tapi itu nggak mengurangi keindahannya. Festivalnya sendiri sih nggak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Saya kira bakal ada konvoi atau pawai, lengkap dengan stand bazaar yang diisi ibu2. Walaupun tampak kurang meriah, tapi tetap seru karena ini kan cuma ada setahun sekali.
Sore saya ke Dupont Circle untuk naik bis yang sudah saya pesan sehari sebelumnya untuk menuju NY. Sekitar 4 jam perjalanan saya habiskan dengan tidur, beda banget sama orang2 sana yang biasanya baca buku atau kerja. Salut, wajar kalau mereka maju. Habis gimana ya, saya kok ngantuk banget. Efek jetlag kali ya *ngeles ;p
Sampai di NY, saya sudah ditunggu mas Heri, istrinya mba Sekar, mas Ija yang kebetulan sedang main juga ke NY, dan pak Didi staf lokal kantor cabang sana. Ternyata pool bis dekat sekali dengan Times Square. Wah, saya langsung foto2 di sana. Dari situ saya beli oleh2. Ternyata barang2 di sana jauh lebih murah ketimbang di DC. Jadinya saya borong cinderamata di sana. Lanjut ke Hard Rock Cafe, lalu kami makan malam dan pulang. Simpan energi untuk jalan2 keesokan harinya :)
Hari Minggu (28/3) pagi2 di tengah suhu yang turun drastis sampai 4 derajat, saya dan mas Ija langsung ke downtown untuk antri ke pulau Liberty dan pulau Ellis diantar mas Hery, mba Sekar, dan pak Didi. Tarif cuma $12 dengan kapal ferry yang berangkat setiap 25 menit sekali. Pengamanan di sana serasa di bandara, lengkap dengan alat metal detector dan x-ray scan. Karena masih pagi, antriannya nggak berapa panjang sih. Setelah sekitar setengah jam antri, akhirnya berangkatlah kami. Dari situ foto2 dimulai. Mulai dari patung Liberty, sampai ke Ellis Island tempat karantina ketika gelombang imigran besar2an memasuki Amerika sekitar abad ke-19. Dua jam keliling2 daerah itu, kami langsung keliling NY sehari semalam sampai gempor. Foto di segala tempat, mulai dari gedung, jalan, taman, mall, toko, sampai restoran.
Hari Senin (29/3) saya cuma ke toko cari pesanan teman2 kantor. Karena nggak ada yang saya dapat, akhirnya saya main ke kantor cabang di sana untuk sekadar menyapa pimpinan dan rekan2. Saya nggak lama di sana karena ada kerjaan yang harus saya selesaikan, termasuk packing untuk pulang malam harinya. Tapi secara umum sih NY kayaknya lebih serem dan lebih nggak manusiawi ketimbang DC ya. Metronya jorok, banyak orang dengan dandanan preman, belum lagi suburban kayak Queens yang banyak pendatangnya kok auranya serem aja gitu. Untunglah jarang ke daerah sana.
Sedih rasanya harus pulang. Saya harus masuk hari Kamisnya karena ada deadline kerjaan. Perjalanan dua hari cukup bikin capek. Sempet bingung sholat waktu di pesawat. Jadi, waktu berangkat kan hari Senin (29/3) jam 10 malam, terbang berlawanan arah dengan rotasi bumi, jadi waktu saya transit di Vancouver setelah terbang 5 jam waktu baru menunjukkan jam 1 malam keesokan harinya Selasa (30/3). Begitu terbang sekitar 6 jam dan melewati garis tanggal internasional, otomatis saya sudah memasuki hari Rabu (31/3). Akibatnya, saya sudah kehilangan Shubuh, Zhuhur, dan Ashar untuk hari Selasa, sementara Maghrib dan Isya masih bisa saya ambil dengan cara dijama' sebelum masuk waktu Shubuh. Wallahu a'lam.
Capek, seru, rame, pengalaman tak terlupakan :)

Mengenai Saya

Foto saya
Sedikit pendiam, perfeksionis, dan ingin menebar kebaikan buat orang sekitar