22 Desember 2008

Selamat Hari Ibu

Mama, sesosok manusia yang sangat saya cintai. Cinta yang tulus, biarpun perih pedih pernah kurasakan dan kulalui bersama Ibu, namun tidak melunturkan rasa cintaku pada Ibu. Rasanya sudah banyak kesalahan dan kekhilafan yang pernah saya buat, bahkan kebohongan besar pernah saya lakukan.
Tidak banyak kejadian di masa balita yang saya ingat bersama Mama. Tapi setidaknya sekitar umur 4 tahun ketika masuk TK, Mama selalu mengantar saya ke sekolah. Bekal setiap pagi? Bolu beruang warna warni yang dibeli di warung dekat rumah. Beranjak dewasa, semakin banyak kenangan yang terpatri di memori saya. Ketika SD, yang paling saya kenang adalah Mama mulai memanggil guru ngaji supaya kami bisa mengaji, walaupun terkadang tanpa Mama sadari kami sering minta Mama mengajak kami jalan2 menjelang jam ngaji karena kemalasan kami ;p Biasanya Mama baru sadar ketika sampai di rumah, tiba2 nyeletuk "Loh, bukannya kalian harusnya ngaji?" Hehehe. Masa SD berlalu, ketika SMP Mama sering mengantar dan menjemput kami ke sekolah hampir setiap hari. Mama melakukannya sampai kami SMA. Mungkin Mama melakukan itu selain mengisi waktu, juga memastikan kalau anak2nya tidak keluyuran ke mana2. Tapi kebiasaan itu tertanam dalam otak, sampai2 saat Mama tidak mengantar pun kami sangat patuh dengan pergi hanya ke sekolah dan pulang langsung ke rumah, tidak tersangkut di mall atau tempat main dingdong hehe. Memasuki masa kuliah, kesuraman mulai meliputi kami sekeluarga. Ujungnya, saya putus kuliah di UNDIP karena keterbatasan biaya. Untuk makan pun masih kesulitan. Sampai2, pernah saya sekeluarga bersama Mama hanya mampu beli makan satu piring dan itu kami makan bersama. Sedih rasanya.
Kesalahan terbesar yang pernah saya lakukan pada Mama adalah saya harus berbohong dan berpura2 kuliah pada tahun 2000 lalu. Kejadian itu bermula dari kejadian traumatis ketika kuliah di Teknik Sipil UNDIP tahun 1999. Mungkin bagi sebagian orang, OSPEK di sana tidak terlampau berat. Tapi bagi saya, di saat rapuh akibat orang tua saya yang sedang berseteru ditambah dengan kesulitan biaya membuat saya kesulitan menghadapi itu semua. Trauma yang terpahat di otak membuat saya tidak mau mengikuti kuliah, bahkan meskipun saya sudah diterima UMPTN untuk kedua kalinya di Matematika UNPAD tahun 2000. Perlu sekitar setahun untuk membuat saya cukup berani melangkah ke kampus. Selama itu pula saya berbohong pada Mama dan pura2 berangkat ke kampus hampir setiap harinya. Jengah dengan itu semua, untuk ketiga kalinya saya ikut UMPTN dan diterima lagi di Matematika UNPAD tahun 2001. Dengan keberanian yang tersisa, saya akhirnya mau mengikuti kuliah. Ternyata di sana tidak banyak hambatan berarti. Bahkan selama di sana saya mendapat teman2 yang baik2, saya mendapat pencerahan dalam agama, juga mampu berprestasi di atas rata. Alhamdulillah. Di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Ayat itu yang paling terngiang saat itu.Dengan segala yang telah saya lalui, menjadikan diri semakin kuat, menerima keadaan, banyak bersyukur atas semua yang saya dapat, diusahakan tidak mengeluh, walaupun masih suka sewot kalau ada yang nggak sreg di hati ;p
Kalau bicara bagaimana cara Mama mendidik kami, satu yang saya salut. Adil. Itu kuncinya. Kami kalau bertengkar, tanpa mau tahu siapa yang salah, pokoknya kami pasti disalahkan semua, pastinya dengan tangan atau sapu yang mendarat di paha hehe.. Tapi cara itu cukup ampuh dan membuat kami jarang bertengkar, karena percuma meskipun kita benar toh dipukul juga. Jadinya kami malah tidak mau cari ribut. Kalaupun ribut, kami berusaha menyelesaikannya sendiri dan harus sudah selesai sebelum Mama tahu :)
Mama, terima kasih sudah menjadi salah satu orang terpenting dalam hidup saya, sudah mendoakan dan mengiringi langkah saya menjalani hidup, tentunya tanpa melupakan Alloh SWT. Semoga kebahagiaan, keselamatan senantiasa meliputi kehidupan Mama. Amin.

08 Desember 2008

Aamir and Amber

Pasti bertanya2, ada apa gerangan dengan kedua nama itu sampai saya rela nulis blog panjang2 tentang mereka ^_^
Sebenarnya ini semua berawal dari Jakarta International Film Festival ke-10 yang diselenggarakan pada 5-9 Desember 2008. Menurut jadwal, ada pemutaran film bertemakan kisah cinta antara seorang muallaf Australia dan gadis Pakistan di Goethe Haus, kawasan Menteng Jakarta. Dengan berbekal info bahwa film yang diputar gratis untuk umum, saya dan Asti meluncur ke sana dengan harapan bahwa kami masih mendapat tiket gratis, mengingat kursi yang tersedia hanya 100 buah. Telat sekitar 15 menit dari jadwal pemutarannya, akhirnya dimulailah kisah nyata tersebut. Sebelumnya saya minta maaf kalau cerita ini terdapat beberapa distorsi akibat keterbatasan memori saya :)
Bermula dari seorang Australia, Brian, yang memiliki minat pada permainan boneka puppet ketika menginjak usia remaja. Suatu ketika, diadakan sebuah festival puppet internasional di Lahore, Pakistan. Dengan keahlian yang disandangnya, dia terbang ke Lahore sebagai partisipan pada tahun 2000. Tanpa diduga, dia bertemu dengan seorang gadis Pakistan, Amber. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Ketika terbersit untuk menikah, Brian tersandung dengan perbedaan keyakinan di antara mereka. Sepulang dari festival puppet, dia semakin menekuni Islam dan berkeputusan untuk menjadi muallaf dan menikahi Amber. Saat itu pula, Brian mengubah namanya menjadi Aamir.
Dari sini, lika liku perjalanan kisah cinta mereka dimulai. Aamir kembali ke Lahore setahun kemudian untuk melamar sang pujaan hati. Keluarga Amber menyetujui pernikahan mereka, namun tidak demikian halnya dengan kakak laki2nya. Kakaknya beranggapan bahwa Aamir belum Islam karena prosesi Syahadat dilakukan di luar Pakistan. Apalagi dia seorang warga negara asing. Upaya meyakinkan orang tua dan keluarga Amber dilakukan Aamir, dan ternyata tidak sia2. Mereka menyetujui pertunangan Aamir dan Amber. Aamir sendiri berencana akan menetap di Pakistan. Bahkan, dia membuat boneka puppet keledai sebagai modal untuk membuat acara the Puppet Show di sebuah stasiun televisi di Pakistan. Dengan kepastian pernikahan tersebut, Aamir kembali ke Australia untuk menjual rumah dan menggantinya dengan rumah di Pakistan. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, Aamir merasa jika Amber lebih baik tinggal di Australia. Terlebih lagi, ternyata produser acara televisi di Pakistan yang semula menyambut baik rencana Aamir membuat acara tersebut tidak kunjung terwujud. Dihadapkan pada kondisi demikian, dia kembali lagi ke Lahore untuk meminta orang tua Amber menikahkan mereka dan mengizinkan Aamir membawa putri mereka ke Australia. Orang tua Amber tidak serta merta mengizinkan karena kekhawatiran terhadap putri mereka. Mereka khawatir, jika Amber disakiti dan mereka jauh darinya, tidak ada yang dapat menolong Amber. Tidak ada yang menjamin pula bahwa Amber akan bahagia selama hidup di perantauan. Mereka akhirnya mengajukan syarat jaminan 500,000 rupee bagi putri mereka pada Aamir. Aamir dengan tegas menolak. Dia meyakinkan bahwa dia akan membahagiakan Amber. Keyakinan itu membuat orang tua Amber meminta waktu satu minggu untuk berpikir ulang.
Seminggu kemudian, Aamir kembali menemui orang tua Amber. Dengan berbagai pertimbangan, diputuskanlah pernikahan mereka berdua dalam beberapa hari ke depan. Kebahagiaan akhirnya meliputi kedua pasangan ini pada 2004. Tiba hari yang dinanti, mereka akhirnya melangsungkan pernikahan hanya 5 jam sebelum kepulangan Aamir ke Australia karena habisnya batas waktu visa. Sesaat sebelum kembali ke Australia, Aamir meminta Amber memenuhi segala persyaratan yang dimintanya untuk melengkapi pengajuan visa ke Australia. Dia meninggalkan boneka puppetnya agar istrinya dapat terus mengingatnya selama dia kembali ke Australia. Ternyata, dalam 9 bulan ke depan, persyaratan tidak kunjung terpenuhi, Amber tidak kunjung datang ke Australia, Aamir yang kini bekerja di sebuah pabrik kursi pun tidak dapat berkunjung ke Pakistan untuk menjenguk istrinya karena kekurangan biaya. Stres mulai menghinggapi Aamir, sampai2 dia harus ke psikiater untuk mencari solusi atas depresi yang dia alami. Istrinya pun nun jauh di sana ternyata jatuh sakit akibat menahan rindunya yang teramat sangat pada sang suami. Begitu mengetahui Amber sakit melalui saudara iparnya, Aamir menelpon Amber untuk menanyakan keadaannya. Namun Amber tidak mengakui. Merasa tidak diberi tahu yang sebenarnya, Aamir menelpon saudara iparnya dengan niat ingin menceraikan Amber karena sulitnya mereka bersatu dan ketidakjujuran Amber.
3 bulan kemudian, tepat setahun setelah mereka menikah, Aamir berkunjung ke Pakistan secara diam2 untuk memberi kejutan pada istri dan keluarganya sembari menyelesaikan persyaratan administrasi yang dibutuhkan untuk memproses visa. Di sana, dia kembali mengutarakan niatnya untuk membawa Amber ke Australia. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya kedua orang tua Amber menyetujui rencana tersebut. Namun, sebelum membawa putri mereka ke Australia, mereka ingin prosesi pernikahan dilanjutkan ke tahap berikutnya, karena menurut adat istiadat setempat, pernikahan yang mereka lakukan setahun yang lalu belum lengkap. Akhirnya, setelah melalui berbagai persiapan mulai dari baju pernikahan, perhiasan, dan makanan, resepsi pun dilakukan selama 2 hari berturut2 di rumah Amber dengan mengundang kerabat dan tetangga.
Beberapa hari setelah resepsi, visa pun akhirnya keluar. Dengan berat hati, Amber harus meninggalkan orang tuanya tercinta di Pakistan untuk menjalani hidup baru bersama suaminya, Aamir, di Australia pada awal 2006. Bulan pertama menjadi masa2 tersulit bagi Amber karena harus berjauhan dengan keluarganya, terutama ibundanya. Bahkan dia bersikeras ingin kembali ke Pakistan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Amber dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Setelah melalui berbagai rintangan selama 5 tahun, akhirnya mereka dapat hidupa bersama dengan bahagia.
Banyak nilai moral yang dapat dipetik dari kisah kedua insan yang jatuh cinta ini.
Pertama, jangan putus asa untuk sesuatu yang kita yakini dan kita ingin dapatkan selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Kedua, pernikahan lintas budaya ternyata membutuhkan kearifan. Konflik antar budaya bisa mengakibatkan cinta yang dirasakan menjadi berkurang, bahkan mati. Untuk itu, diperlukan kompromi antar kedua pasangan untuk memilih jalan mana yang akan dihadapi dan dilalui sehingga cinta keduanya tetap dapat terpelihara dengan baik.
Ketiga, cinta memang butuh pengorbanan. Ada yang harus kita tinggalkan demi mendapat sesuatu yang lebih, meskipun kita teramat sangat mencintai dan menyayanginya.
Keempat, cinta memang tidak pandang bulu. Meskipun orang yang dicintai ada di ujung dunia pun akan tetap dikejar demi kebahagiaan yang diimpikan.
Duh, jadi mellow gini ya. Tapi emang film ini keren abis. Nggak kayak film pada umumnya, film ini dibuat seperti dokumenter karena ini memang kejadian nyata, tanpa melupakan unsur komedi tentunya, dimana sang sutradara berkebangsaan Iran yang bermukim di Australia, Faramarz K. Rahber, yang memang berteman dengan Brian a.k.a. Aamir berusaha mengikuti perjalanan cinta Aamir mendapatkan Amber tanpa campur tangan apapun, dikemas dengan apik, disajikan dengan penuh cita rasa, hingga sampailah film ini ke Indonesia dan bisa ditonton secara gratis oleh saya :D
Salut buat beliau. Semoga karya hebat ini bisa ditiru para sineas Indonesia dengan menyajikan film bermutu dengan kreativitas tinggi tanpa harus bertema yang (mereka anggap) sedang populer seperti film berbau “saru” atau klenik.

Mengenai Saya

Foto saya
Sedikit pendiam, perfeksionis, dan ingin menebar kebaikan buat orang sekitar