18 November 2012

Liburan yang Terlalu Singkat di Aceh

Berdasarkan evaluasi, artikel di blog saya yang paling banyak dikunjungi secara statistik adalah tentang traveling. Yap, meski aku bukan yang freak banget harus traveling tiap bulan, harus backpacking, atau harus apapun itu, tapi memang aku seneng banget liburan. Keliling Indonesia, that's my ultimate goal, at least until today. Yah, liburan di Indonesia punya tantangan tersendiri. Transportasi menuju lokasi wisata sering kali harus sambung menyambung (jadi inget lagu Dari Sabang Sampai Merauke hehe..), tapiii.. tons of beautiful places are ready to be discovered. I am sooo beyond ready to explore my beloved country.

Kali ini, aku liburan ke Aceh. Setelah ke Bengkulu beberapa bulan lalu, aku dan beberapa teman kuliah dan kantor -Ulong, Icha, dan Aya- sepakat untuk bikin mini-gank traveling dan menyasar Aceh sebagai destinasi berikutnya. Mmm.. nantinya akan banyak foto karena saking pengennya berbagi info mengenai liburan di Aceh ini. Semoga bisa menginspirasi yang lain untuk liburan ke sana.

Kami ke sana mengambil libur panjang 15-18 November 2012. Waktu ke Bengkulu, niatku adalah mencari tempat wisata yang jarang diketahui orang dan aku bisa menikmati alam sepuasnya. Sekarang, Aceh mungkin udah mulai populer sejak bencana tsunami akhir tahun 2004 lalu, tapi tetap dunia pariwisata sepertinya belum terlalu berkembang, terutama di kalangan wisatawan mancanegara. CMIIW. Nah, niatku sekarang nggak kalah menggebu, yaitu berwisata di tempat yang belum terlalu populer, sekaligus wisata kuliner. Oia, selama liburan, aku dibantu teman kuliah, Defri, yang memang asli orang Aceh. Awalnya sih dia mau ikut liburan, tapi ternyata dia baru tau kalau istrinya hamil. Urung bergabung, dia tetap berkomitmen membantu liburan kami selama di Aceh berjalan lancar.


Tanggal (15/11) siang kami tiba di Banda Aceh setelah menempuh perjalanan selama 4 jam, termasuk transit di Medan. Dijemput Defri, kami langsung meluncur ke pelabuhan Ulee Lheue. Terletak di utara Banda Aceh, lokasi ini menjadi penghubung kami ke tujuan wisata utama kami, Sabang di Pulau Weh. Tapi, karena ini libur panjang, tiket kapal sudah habis terjual. Sistemnya memang agak unik, kita harus beli di tempat. Jadi, nggak ada semacam travel agent untuk beli dari jauh2 hari, apalagi beli online, jauh panggang dari api deh. Kami sempat khawatir karena udah booking hotel di Sabang untuk 2 hari. Sayang kan kalau sampai hangus gara2 nggak dapat tiket kapal penyebrangan. Beberapa saat kemudian, petugas lapangan mengumumkan kalau ada kapal tambahan yang akan berangkat jam 5 sore. Orang2 sontak langsung antri di depan loket yang ditunjuk oleh petugas meskipun masih tutup. Setelah "puas" mengantri, akhirnya jam 5 kapal berangkat, dan sampai di Sabang 1 jam kemudian. Dari situ, kami sudah ditunggui oleh teman Defri yang akan mengantarkan kami ke hotel. Di perjalanan, kami sempat berhenti untuk makan malam di Cafe Tepi Aneuk Lot, dengan menu utama mie Aceh. Kenapa mie Aceh, nanti kuceritakan lagi di belakang :) Sekitar jam 8 malam kami sampai di hotel The Point Sabang Resort.

Tanggal (16/11), kami pergi ke pantai belakang hotel. Nggak belakang persis sih, karena cuma ada tebing dan langsung laut berkarang. Kita mesti jalan ke samping, dan ada jalan tembus ke hotel Freddie. Seperti apa pantainya? Lihat aja sendiri. Nggak cukup dengan kata2 untuk menggambarkan keindahannya.



Di pantai ini sebetulnya kita bisa snorkeling. Tapi, karena tujuan utama kami adalah snorkeling di spot ternama di sana, akhirnya kami cuma berenang. Puas bermain, kami sarapan dan langsung bersiap2 menuju Iboih. Di sana, kita bisa snorkeling sepuasnya meskipun waktunya terbatas. Kenapa? Ini dia alasannya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tiba2 menjadi peribahasa yang amat penting di sana.

Sepanjang di Sabang, kami diantar oleh bang Rizal. Saya sengaja sebut, karena ada cerita unik nantinya dibalik nama itu hehe.. Mobilnya pun unik, Mitsubishi Colt Plus. Nggak pernah dengar kan? Mobil itu memang nggak dijual bebas di Indonesia. Berkat statusnya sebagai pelabuhan bebas, Sabang memang kebanjiran mobil impor bekas, terutama dari Singapura. Sekilas mirip Honda Jazz sih.
Kembali ke perjalanan. Berdasarkan masukan dia, kami mengarah ke Tugu Nol Kilometer dulu di ujung barat pulau sebelum ke Iboih selepas Jumatan di masjid raya Sabang. Matahari terlalu terik, kami pun nggak kuat berlama2 di luar mobil. Berfoto sebentar, kami langsung ke Iboih. Di sana, tempatnya luar biasa ramai. Karena libur panjang kali ya. Kami langsung antri di loket untuk sewa kapal yang akan mengantarkan kami ke spot penyelaman. Lucunya, spot penyelaman dibagi dua, pertama untuk wisatawan lokal dan kedua untuk wisatawan mancanegara. Yang untuk bule, lebih jauh dan lebih mahal, tapi lebih indah pastinya. Apa mau dikata, yang penting bisa snorkeling, itu sudah lebih dari cukup. Cuma sekitar 5 menit berlayar, kami sampai di tempat tujuan. Indahnya? Lagi2 susah diungkap dengan kata2. Sayang, kami nggak bawa kamera tahan air. But trust me, we were so stunning. It was extremely beautiful. Kami main sekitar 2 jam saja dan langsung kembali ke hotel untuk makan malam. Di balik kecantikan lautnya, di sana susah mencari kamar kecil untuk buang air kecil dan kamar ganti. Kamipun harus ke masjid setempat untuk bersih2, itupun mesti antri beberapa menit, bersaing dengan wisatawan lainnya.
Malamnya, kami cari makan malam dan mulai menetapkan untuk mencicip mie Aceh di berbagai restoran semampu kami. Kami yakin, mie Aceh di tempat asalnya pasti lebih enak dan punya ciri khas masing2. Malam itu, kami ke suatu kedai, sayang aku lupa namanya. Selain mie, aku juga minum kopi karena katanya kopi Aceh terkenal enak. Padahal aku sendiri jarang minum kopi, tapi berhubung lagi di Aceh kenapa nggak?



Tanggal (17/11) pagi, kami lagi2 main di pantai belakang hotel sampai menjelang siang. Selepas cek out sambil menunggu jadwal kapal sore untuk kembali ke Banda Aceh, kami makan siang, kami sambangi Kedai Kopi Beuna Raseuki. Kata bapak penjualnya artinya banyak rejeki. Rasanya? Aku berani bilang bahwa di sini adalah mie Aceh terenak yang aku makan selama liburan di Aceh, bahkan mengalahkan mie Aceh legendaris di Banda Aceh.

Selepas makan, kami menghabiskan waktu ke Anoi Itam yang berarti pasir hitam dalam bahasa Aceh. Di sana, kami ke benteng Jepang yang letaknya di bawah tanah pinggir tebing. Jadi, wujudnya lebih seperti bukit, tapi ada lubang tempat meriam. Di sana sepi banget, dan sepertinya belum terlalu populer dibanding Iboih atau Tugu Nol Kilometer.


Sore pun tiba, kami menyeberang ke Banda Aceh. Sesampainya di Ulee Lheue, kami ditawari taksi oleh seorang bapak paruh baya. Kamu pun menerima tawarannya. Cerita punya cerita, kami pun akhirnya bersepakat untuk menyewa bapak itu untuk keliling Banda Aceh keesokan harinya sampai waktu kepulangan kami ke Jakarta. Sayang, saya lupa nama bapak itu dan saya kehilangan nomor kontaknya. Tapi, dari cerita dia, bapak itu merupakan satu dari ratusan ribu orang yang merasakan dampak tsunami. Beliau kehilangan istri dan satu orang anaknya. Dia menduga mereka dimakamkan di pemakaman massal dekat bandara Sultan Iskandar Muda.

Malam itu, setelah kami cek in di Hotel 61 di kawasan Peunayong, kami jalan2 di sekitar sana. Pertama, kami makan malam di Mie Razali yang terkenal dengan mie Aceh kepitingnya. Ini mie Aceh ketiga yang kami cicipi. Puas dan lahap setelah menyantap, kami agak ke arah utara dan mencari oleh2, mulai dari kopi Aceh, kain tenun, kaos bergambar khas Aceh, sampai aneka jajanan. Sambil belanja, aku tanya ke beberapa penduduk lokal mengenai lokasi taman kerang. Waktu tinggal di Medan, aku pernah ke sana dengan keluarga. Taman itu terkenal karena memang lapangan luas itu beralaskan kulit kerang. Orang yang makan kerang di sana tinggal buang cangkangnya ke tanah, akhirnya bertumpuk dan jadi ciri khas taman kerang itu. Tapi warga bilang, tempat itu sudah bersih tersapu tsunami. Tempat itu ternyata masih ada meski hanya tinggal nama, tapi di sana masih tetap dijejali dengan para pedagang aneka kerang, mulai dari kerang rebus, sampai sate kerang.


Tanggal (18/11) hari terakhir kami di Aceh, pagi2 aku cari sarapan di luar hotel sambil lihat suasana Minggu pagi. Unik, sedang ada olahraga bersama di tengah jalan, dan ternyata barisannya terpisah. Syariat Islam memang merambah ke segala aspek hidup masyarakat setempat, olahraga di jalanan sekalipun.





Selepas sarapan, kami bertemu dengan bapak taksi itu, lalu mulailah kami menjelajahi Banda Aceh dengan tema tsunami, mulai dari masjid raya Baiturrahman sebagai salah satu tempat berlindung warga saat tsunami menerjang, Lampulo tempat kapal nelayan terdampar di pemukiman penduduk dan sempat menjadi "Noah's Ark" yang menyelamatkan beberapa penduduk yang terseret gelombang tsunami, sampai PLTD apung yang jaraknya sekitar 5 km dari pantai. Bisa dibayangkan dahsyatnya kekuatan tsunami ketika itu. Kami memang nggak banyak ambil gambar selama wisata sejarah tsunami tersebut karena merasa nggak tega dengan para korban.



Menjelang sore, kami meluncur ke arah bandara, tapi kami mampir dulu untuk minum kopi di Dapuh Kupi yang katanya memang terkenal di sana. Dari sana, kami lanjut makan ayam tangkap di RM Aceh Rayeuk yang berarti Aceh Besar sesuai saran bapak taksi itu (berbaju merah). Ayam tangkap itu ayam kampung yang dimasak dengan aneka dedaunan, seperti daun pandan, daun salam koja. Rasanya ruarrr biasa maknyus. Harus dicoba kalau pergi ke Aceh.


Lucunya, kami sempat iseng tanya salah satu nama pelayan, dia menjawab Rizal (berbaju batik hijau di tengah). Sontak kami tertawa lepas. Kami merasa, banyak sekali yang bernama Rizal di Aceh. Mungkin ada suatu masa di mana Rizal menjadi nama favorit di Aceh. Kami pun menceritakan itu ke bapak sopir taksi, dan dia pun menjawab bahwa putranya yang selamat dari tsunami itu juga bernama Rizal. Hmm.. oke. Ini lebih dari lucu hahaha..


Sebagai penutup perjalanan kami, menjelang bandara kami mampir sebentar di kuburan massal untuk mendoakan para korban, termasuk istri dan anak bapak taksi. Semoga mereka sudah tenang di sana. Wisata kali ini nggak sekedar bersenang2 di pantai yang nggak terlalu ramai dan populer, tapi juga wisata religi karena turut mengenang para korban tsunami dan merenungi makna hidup. Selain itu, wisata kuliner yang luar biasa juga semakin melengkapi keceriaan liburan kali ini. Masih banyak tempat wisata yang belum sempat dikunjungi, yang tentunya menjadi daya tarik bagi kami untuk kembali berwisata ke sana.

---
Total pengeluaran per orang +/- 3,17 juta
Tiket p.p. Jakarta-Banda Aceh: 1.628.000
Akomodasi (makan, transportasi, tiket masuk, oleh2): 1.544.000

3 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Sedikit pendiam, perfeksionis, dan ingin menebar kebaikan buat orang sekitar