09 April 2012

Bengkulu: Ada Wisata Apa di Sana?

Liburan panjang kali ini saya habiskan di Bengkulu. Bengkulu, ada apa di sana? Haha.. Pertanyaan itu keluar dari banyak mulut, mulai dari teman kuliah, teman kantor, bahkan teman kantor yang ditempatkan di Bengkulu sekalipun.

Justru itu, karena (katanya) nggak terlalu banyak yang bisa dilihat dan kurang populer, membuat tiket menuju Bengkulu menjadi sangat murah, bahkan biarpun belinya mepet. Apalagi, kebetulan maskapai Merpati baru saja membuka rute Jakarta-Bengkulu setelah sempat vakum. Liburan ini dibilang mepet karena direncanakan hanya seminggu sebelum berangkat. Saya dengar banyak objek wisata alam, kuliner, dan sejarah yang bisa saya kunjungi. Itu yang membuat saya bersikeras untuk ke sana. Saya cuma berdua dengan Wulan, teman kuliah yang sekarang sama2 kerja di Jakarta. Tapi saya juga akan ditemani teman lainnya di sana yang berminat juga untuk mencari tau ada apa di Bengkulu meskipun mereka sendiri tinggal di sana.

Hanya sekitar 45 menit di angkasa, jam 9 pagi kami sudah berada di Bengkulu. Kesan pertama, bandaranya unik karena nggak jauh dari jalan raya, cukup dengan berjalan kaki. Kesan kedua, ternyata sepi kotanya, lebih mirip Manokwari bahkan. Selain panas, atap rumahnya banyak pakai seng. Bedanya dengan Manokwari, di sini perawakan orangnya sedang khas Melayu, kulit kuning dan sipit mirip orang2 Palembang, dan nggak ada babi2 berkeliaran di jalanan.

Menunggu setengah jam, kami akhirnya dijemput teman2 kantor, Icha, Aya, dan Uut. Berhubung belum sarapan, kami makan dulu. Icha ajak kami ke RM Inga Raya di utara pantai Tapak Paderi dengan resto gaya lesehan. Makanannya sepintas mirip masakan Padang, tapi bedanya, di sini ada tempoyak yaitu udang dengan kuah mirip bumbu gule tapi rasa durian. Luar biasa enak. Tapi supaya nggak kolesterol tinggi, sepulang dari Bengkulu akhirnya saya makan oatmeal sebagai menu sarapan wajib selama beberapa hari hehe..

Selesai makan, kami meluncur ke tengah kota dengan maksud untuk sholat Jumat. Karena saya satu2nya cowok di rombongan kali ini, saya mengalah. Saya didrop di masjid sementara mereka pulang ke hotel. Saya memaksa mau sholat di masjid jamik hasil rancangan Soekarno yang kini menjadi benda cagar budaya. Lucunya, teman2 yang tinggal di Bengkulu bahkan nggak tau kalau masjid itu dirancang oleh bapak proklamator kita.

Selesai jumatan, saya pergi ke hotel. Mm.. sebetulnya bukan hotel sih, tapi lebih seperti kos2an, modelnya mirip dengan yang ada di seputaran Setiabudi dan Karet. Namanya Grand Jitra dengan fasilitas kamar AC, kamar mandi dalam, dan ada sarapan pagi. Musholla dan alat fitness yang cukup representatif pun ada. Sebulan, kamar disewakan 1,5 juta. Nggak berapa jauh beda kan? Khusus untuk sewa harian seperti saya, cukup dengan tarif 95 ribu per hari. Jauh lebih layak ketimbang menginap di hotel. Lokasinya dekat dengan makam penduduk Inggris ketika itu. Sebagian masih tampak terawat, tapi sayang di sebagian yang lain malah dipakai sebagai lahan rumah atau pekarangan penduduk dan kantor administrasi pemerintahan.

Selesai berbenah sebentar di kamar, kami langsung jalan. Itinerary yang saya buat berdasarkan info dari forum, blog, dan peta google ternyata kurang optimal menurut versi teman2. Jadinya, itinerary dirombak total dan saya ikut rencana mereka saja. Tujuan pertama, rumah pengasingan bung Karno dan rumah Ibu Fatmawati karena lokasinya nggak jauh dari hotel dan keduanya saling berdekatan. Kedua rumah itu dalam kondisi terawat dengan baik. Waktu kami datang, tempatnya sepi. Entah karena kurang populer atau memang pas lagi jam2 sepi saja. Nggak ada tiket masuk, tapi kita bayar seikhlasnya saja buat pemandu di sana. Begitu masuk, terlihat perabotan di sana masih lengkap, bahkan ada satu kamar yang berisi lemari besar penuh buku tua dari berbagai bahasa dan tema, mulai dari agama sampai politik. Nggak heran kalau Bung Karno bisa jadi presiden, pintar luar biasa.

Di rumah ibu Fatmawati, ada koleksi baju dan foto beliau, termasuk mesin jahit yang dipakai untuk membuat bendera merah putih yang dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan. Sayang di sana nggak ada penjaganya, jadi kami masuk begitu saja. Kebayang kan kalau ada orang nggak bertanggung jawab masuk sana dan mengambil barang2 bersejarah. Semoga kejadian itu nggak berulang.

Selesai dari rumah mereka, kami menuju Danau Dendam Tak Sudah. Lagi2, teman2 yang tinggal di Bengkulu pun nggak tau sejarah penamaan danau ini. Banyak versi memang, tapi ada versi yang mengatakan bahwa danau ini dulunya dibendung oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi dam, tapi nggak selesai, jadilah nama Dendam Tak Sudah. Entah benar atau nggak, toh nggak mengurungkan niat kami pergi sana. Berbekal informasi Linda, teman Aya asli Bengkulu, kami melewati jalan kecil yang jauh dari layak. Nggak heran nggak banyak orang mau ke sana lewat jalan ini. Jelas nggak ada retribusi untuk ke sana. Begitu kami sampai di tepi danau, pemandangannya menyegarkan mata. Sepi, cuma ditemani suara burung2, udara pun segar. Padahal lokasinya mungkin cuma 10 menit dari pusat kota.

Nggak berapa lama di sana, kami pun meluncur ke Sungai Suci atas rekomendasi Uut. Saya nggak tau itu di sebelah mana, tapi kalau diperhatikan, tempatnya ada di sebelah utara kota Bengkulu. Retribusi hanya 2 ribu per orang. Sekilas tempatnya mirip Tanah Lot Bali, tapi dengan skala jauh lebih kecil dan tanpa pura di ujung semenanjungnya. Selain view-nya yang menarik, yang seru adalah menunggu ombak besar datang memecah daratan. Sampai2, menjelang kami beranjak dari sana, Icha tersiram ombak besar. Rambut lurusnya pun serta merta mendadak bergelombang. Puas teriak dan foto2 dengan anak2 setempat, kami segera beranjak kembali ke kota. Rencananya kami mau lihat sunset di sana.


Sebelum menikmati sunset, kami ke Fort Marlborough, benteng kokoh peninggalan pemerintah kolonial Inggris. Benteng ini berada persis di ujung Pantai Panjang, tepatnya di Tapak Paderi. Uang masuk hanya 2500 per orang. Di sana ada pemandu yang menguraikan sejarah benteng itu, tapi dia nggak ikut sepanjang penyusuran kami selama di benteng. Mungkin sudah sore dan dia capek atau bosan keliling benteng dengan cerita yang sama berulang2 sepanjang dia bekerja di sana hehe.

Benteng ini amat kokoh, tahan terhadap gempa besar yang melanda Bengkulu. Penjara bawah tanah yang pernah dipakai untuk mengurung warga Belanda pun dirancang dengan amat baik, melengkung tanpa topangan tiang. Batu2 bata pun hanya dilekatkan oleh kapur. Benteng ini terdiri dari banyak ruangan, antara lain ruang penyimpanan harta, gudang senjata, bahkan sampai makam. Puas foto2, kami pun pergi ke Pantai Panjang untuk menikmati sunset, tapi sayang begitu sampai di sana, matahari baru saja tenggelam. Yang tersisa hanya semburat jingga di langit dan awan. Alhasil, kami cuma berfoto dan bermain air saja sampai langit benar2 gelap. Dari sana, kami pun makan malam di warung baso nggak jauh dari pantai. Selesai makan, kami pulang untuk istirahat, menyiapkan tenaga untuk besok. Memang kami berencana ke luar kota Bengkulu di hari kedua.


Hari kedua di Bengkulu, kami pergi lagi ke Pantai Panjang setelah shubuh karena rasanya belum puas sore kemarin. Pantainya ternyata lebih dekat dari bayangan saya. Jalan kaki sedikit lewat gang2 sekitar 10 menit, sampailah kami di pantai. Pantainya mungkin agak kotor kalau ke arah Utara, karena memang lebih dekat ke pemukiman. Tapi kalau kita bergerak ke Selatan, pantainya jauh lebih bersih, udara lebih segar. Kalau memang pecinta pantai, nggak akan rugi deh main2 di sini.

Jam 9 pagi, kami berangkat ke luar kota setelah sarapan yang disediakan sama kos. Tujuan pertama kami adalah Curup. Di sana terdapat air terjun dan pemandian air panas Suban. Jaraknya dekat saja, sekitar 60 km. Tapi karena jalannya rusak di sepanjang jalan, waktu tempuhnya sampai 2,5 jam, jauh lebih lama dibandingkan lewat tol Cikampek yang bisa ditempuh 1 jam saja dengan jarak yang sama. Retribusinya agak unik di sini. Pintu pertama, hanya bayar untuk mobil 2 ribu saja. Di dalam, untuk menuju air terjun, kami harus melewati kompleks pemandian air panas. Keluarlah 10 ribu dari kantong kami masing2. Di belakang pemandian itu ada jalan setapak yang menembus hutan kecil sampai kami tiba di air terjun itu. Air terjunnya kecil, nggak sebesar yang dibayangkan. Tapi dasar kampungan, karena saya nggak pernah main atau ketemu air terjun, apalagi airnya bening, sayapun basah2an di sana. Saya memang bawa baju ganti karena memang pengen main air. Dari rencana awal sekitar 2 jam, kami akhirnya puas main di sana sampai 4 jam. Rencana main ke danau dekat situ pun gagal. Kami akhirnya memutuskan langsung pulang, mengingat perjalanan yang bakal lama dan melelahkan karena rusaknya jalan. Tapi, kami sempatkan berfoto dengan orang asli Bengkulu (kesampaian juga akhirnya hehe).


Sebelumnya, kami makan siang dulu (atau makan sore lebih tepatnya) di Pondok Lesehan Ridho. Kata Aya, di Bengkulu lagi happening tuh resto bergaya lesehan. Makanannya khas daerah pantai, serba ikan. Rasa nggak mengecewakan meskipun tempatnya kurang besar. Waktu bayar, saya ngobrol dengan mba kasirnya. Dia bilang ada bunga Rafflesia mekar di Kepahiang. Kebetulan, kabupaten itu kami lewati kalau berangkat dari dan pulang ke Bengkulu. Tanpa pikir panjang, kami pun berencana untuk lihat bunga Rafflesia. Mekarnya nggak mengenal waktu. Kalau memang mekar, harus diburu. Sayangnya, karena mekar di hutan, kita cuma bisa tau bunga itu mekar melalui papan tanda atau spanduk tulisan tangan masyarakat setempat yang dipasang di pinggir jalan raya agar terbaca oleh para pelintas jalan. Sayang hari sudah gelap. Tulisan itu (kalaupun ada) jadi nggak kelihatan. Kami jadi hanya berfoto di alun2 kota Kepahiang dengan bukit berhiaskan kaligrafi Allah.
Sedikit kecewa, besoknya Icha menelpon Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu yang bisa memberikan informasi kalau ada bunga Rafflesia yang mekar. Berdasarkan info mereka, kami mendapat kepastian memang ada bunga Rafflesia yang mekar, tapi sayangnya itu seminggu yang lalu. Kalaupun hari itu kami ke sana, kelopaknya sudah layu. Akhirnya, hari Minggu kami habiskan dengan berkeliling lagi di kota Bengkulu. Kali ini kami ke Tugu Thomas Parr, Fort Marlborough lagi, kawasan pecinan, alun2 dengan menaranya, dan depan rumah dinas gubernur. Kami pun bahkan mengunjungi monumen perjuangan rakyat Bengkulu yang jauh dari kesan megah, bahkan di sana sini cuma ada kaleng lem aibon bertebaran di taman itu. Jauh dari kesan megah karena isinya memang hanya "seonggok" batu menyerupai prasasti. Jauh berbeda dengan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (MPRJB) yang jadi satu kesatuan dengan kawasan Gasibu dan Gedung Sate Bandung yang besar menjulang dan tertata rapi. Sayang sekali. Mungkin suatu saat perlu dibenahi supaya orang lebih menghargai jasa para pahlawan bangsa. Oya, di seberang monumen ini ada hotel menyerupai tabot. Kalau yang belum tau, tabot itu adalah benda semacam tugu yang biasa diarak masyarakat Bengkulu dan dilarung ke laut. Ini dilakukan setiap tanggal 1-10 Muharram. Tabot awalnya dijadikan bagian dari ritual peringatan kematian cucu Nabi, Hassan dan Husain, oleh kaum keturunan Arab yang dipanggil Tabot dan bermukim di Bengkulu. Namun, seiring waktu tabot digunakan untuk festival tahunan pada bulan Muharram tersebut. Ajaibnya, ada orang yang mungkin saking kagumnya sama tabot, dibuatlah hotel menyerupai tabot. Mungkin suasananya agak mencekam karena khawatir roboh, tapi toh nyatanya hotel itu tetap survive dengan keunikannya :)


Selesai keliling kota, kami ke pelabuhan, pantai rahasia, dan dermaga kecil dan terpencil di suatu tempat. Pantai rahasia itu hanya Linda dan masyarakat setempat yang tau. Saya sebetulnya ingat persis di mana tempatnya, tapi katanya tempat itu tetap sengaja dirahasiakan supaya nggak banyak yang datang ke sana dan nggak merusak pantainya yang masih alami dan asri itu. Ke sana kami hanya membayar 2 ribu untuk satu mobil. Begitu sampai, luar biasa. Pantai itu benar2 bersih, panjang, indah, dengan air yang dangkal, banyak karang dan rumput laut. Saya di sana sibuk lari2, lompat2, dan teriak2 sepuasnya. Rasanya bebas, penat hilang, bebas dari gangguan orang lain. Saya pun berjemur di sana, sampai2 kulit menghitam. Peduli amat, toh makin eksotis ;p

Selesai dari pantai, kami lagi2 makan siang untuk yang ketiga kalinya dengan suasana lesehan. Nggak bosan sih, lagian kali ini restorannya menyajikan masakan Sunda. Penataannya bagus, harganya pun murah. Sambil menunggu pesawat sore, kami sholat di masjid raya, lalu foto2 dengan latar Gedung Juang 45. Tak lupa, kami ke toko kain besurek, kain batik khas Bengkulu. Dari namanya, besurek atau bersurat sama artinya dengan menulis. Batik Bengkulu pun sarat dengan tulisan, tapi bentuk kaligrafi huruf Arab. Beda dengan batik2 lain di pelosok nusantara yang tipikal dengan motif bunga, daun, dan benda2 alam. Tempatnya di Toko Gading Cempaka di kawasan Sentra, masih satu area dengan rumah pengasingan Bung Karno. Terakhir, kami mampir jajan Pempek Palembang di warung H. Cek Toni yang terkenal nggak cuma pempeknya, tapi juga es kacang merahnya. Yummy..

Akhirnya, waktunya pulang ke Jakarta. Jadi, kalau ditanya orang ada apa di Bengkulu, silakan buktikan dan nikmati sendiri apa yang ada di sana. Nggak seindah tempat lain yang sudah ditata sedemikian apiknya untuk menarik wisatawan memang, tapi justru Bengkulu menawarkan pesonanya dengan kesederhanaan dan dengan caranya sendiri. Ayo, kunjungi Bumi Rafflesia.. ^_^

---
Total pengeluaran per orang +/- 1,58 juta
Tiket p.p. Jakarta-Bengkulu: 890.000
Akomodasi (makan, transportasi, tiket masuk, oleh2): 690.000

3 komentar:

  1. Wah, menarik yaa vacation nya,
    Mas/Pak Oki bolehkah sya minta alamat emailnya?
    Terimakasih sebelumnya :)

    BalasHapus
  2. okiiiiii.... knapa perubahan rambutku dari lurus ke keriting gara2 kesiram ombak itu harus disebutiiiinnn??? aaarrrggghhh.... >_<

    BalasHapus
  3. Mas Oki, saya ddengan Harta
    bisa minta no hp nya?
    mau tanya2 lebih detail mengenai perjalanan ke Bengkulu.

    Terimakasih'

    BalasHapus

Mengenai Saya

Foto saya
Sedikit pendiam, perfeksionis, dan ingin menebar kebaikan buat orang sekitar