05 Desember 2013

Pentingnya Asuransi Kesehatan

Sehebat apapun orang kondisi seseorang, entah itu kaya, terkenal, cantik, muda, kalau udah sakit pasti nggak banyak hal yang bisa dilakukan sebebas waktu dia dalam keadaan sehat. Mau makan susah, mau tidur gelisah, bahkan buang hajat juga repot. Ya, sehat. Salah satu nikmat yang sering kita abaikan dan baru kita rindukan kalau lagi sakit. Mungkin sehat itu kita rasa penting nggak cuma ketika sakit, tapi bisa juga ketika sanak saudara, keluarga, dan teman kita sakit. Itu juga yang aku alami waktu papa sakit beberapa minggu yang lalu.

Sebetulnya cerita ini diawali sekitar 2 tahun yang lalu ketika papa mulai sering merasa sakit kalau buang air kecil. Aku berinisiatif bawa papa ke RS Advent di bilangan Cihampelas, Bandung. Setelah beberapa hari dirawat inap untuk biopsi, diketahui bahwa papa menderita pembengkakan prostat. Kalau dari berbagai artikel di dunia maya, pembengkakan prostat bisa terjadi karena memang membengkak akibat usia lanjut, atau bisa terjadi karena kanker prostat. Pembengkakan karena usia lanjut lebih disebabkan oleh berkurangnya kadar dan fungsi hormon yang mempengaruhi kinerja prostat itu sendiri. Sementara itu, pembengkakan akibat kanker prostat belum diketahui secara pasti. Secara gejala memang mirip, jadi agak susah diketahui kecuali melalui pemeriksaan lab. Kasus papa kemarin lebih karena faktor usia.

Singkat cerita, papa akhirnya dioperasi di RS Borromeus, ditangani oleh pakar yang tepat, yaitu Prof. Dr. dr. Suwandi Sugandi, Sp.B, Sp.U. Gelarnya yang panjang itu menguatkan keyakinan kalau kita sudah menyerahkan ke orang yang tepat. Sebagai spesialis bedah sekaligus urologi, masalah yang papa alami seolah tampak lebih mudah ditangani. Dalam tempo total 10 hari menginap termasuk operasi, sekarang papa sudah lancar buang air kecil tanpa rasa sakit sama sekali. Habis operasi, terbitlah tagihan. Biaya operasi, rawat inap, dokter, dan obat2an mengharuskan kami membayar tagihan sekitar 42 juta. Tapi, syukur RS itu merupakan rekanan PT. Pos Indonesia, tempat kerja papa dulu. Kami pun cuma "perlu" bayar 8 jutaan aja. Meringankan? Hell yeah..

Merenungkan proses pengobatan dan selama menjaga papa di RS, aku jadi mikirin banyak hal. Sekarang jenis penyakit semakin beragam. Entah memang berkembang karena jenis makanan, pola hidup dan tingkat polusi yang mungkin menyebabkan adanya mutasi gen, atau karena ilmu kedokteran yang berkembang sehingga semakin banyak jenis penyakit yang baru teridentifikasi. Lain penyakit, lain juga penanganannya. Di kalangan masyarakat ada yang memilih berobat medis atau secara alternatif. Pengobatan alternatif biasanya lewat dukun, kiai, atau orang lainnya dengan suatu medium tertentu. Kalau pengobatan medis, biasanya lewat RS, puskesmas, atau klinik. Sebagian memang berbiaya besar yang tentu bukan jadi masalah besar buat si kaya. Di kalangan kelas menengah, mungkin sebagian nggak menemui masalah karena status sebagai pegawai negeri sudah menjadi peserta Asuransi Kesehatan (Askes). Atau kalau di lembaga negara atau perusahaan swasta sudah tersedia fasilitas kesehatan melalui yayasan kesehatan atau bermitra dengan berbagai perusahaan asuransi besar. Bagaimana dengan masyarakat kurang mampu? Untungnya pemerintah sudah bisa menjawab kekhawatiran kita melalui Asuransi Kesehatan Miskin (Askeskin). Bahkan, per 1 Januari 2014 Pemerintah akan memperluas akses jaminan kesehatan itu melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Terbentuk melalui penggabungan Askes dan Jamsostek, diharapkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan semakin luas, bahkan termasuk untuk pekerja di sektor informal. Tentu kita perlu apresiasi dan dukung langkah pemerintah tsb. Apalagi, ini merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam menyalurkan subsidi agar lebih tepat sasaran. Daripada mensubsidi BBM yang mungkin 80% lari ke mobil2 pribadi, bukannya lebih baik kita salurkan ke akses kesehatan. Apalagi, kalau manusia Indonesia semakin sehat, bukankah bangsa ini akan semakin produktif, maju, dan berkualitas?

Tentu, asuransi aja sih belum cukup karena lebih merupakan langkah penanganan. Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Couldn't agree more. Kita harus menerapkan gaya dan pola hidup sehat, apalagi yang berisiko tinggi menderita penyakit keturunan seperti diabetes, atau jantung. Ini pun harus ditunjang juga dengan olahraga teratur, makanan yang juga terjaga dan teratur dengan asupan gizi seimbang. Menghindari rokok dan minuman beralkohol jadi nilai tambah untuk menjaga kesehatan.

18 November 2012

Liburan yang Terlalu Singkat di Aceh

Berdasarkan evaluasi, artikel di blog saya yang paling banyak dikunjungi secara statistik adalah tentang traveling. Yap, meski aku bukan yang freak banget harus traveling tiap bulan, harus backpacking, atau harus apapun itu, tapi memang aku seneng banget liburan. Keliling Indonesia, that's my ultimate goal, at least until today. Yah, liburan di Indonesia punya tantangan tersendiri. Transportasi menuju lokasi wisata sering kali harus sambung menyambung (jadi inget lagu Dari Sabang Sampai Merauke hehe..), tapiii.. tons of beautiful places are ready to be discovered. I am sooo beyond ready to explore my beloved country.

Kali ini, aku liburan ke Aceh. Setelah ke Bengkulu beberapa bulan lalu, aku dan beberapa teman kuliah dan kantor -Ulong, Icha, dan Aya- sepakat untuk bikin mini-gank traveling dan menyasar Aceh sebagai destinasi berikutnya. Mmm.. nantinya akan banyak foto karena saking pengennya berbagi info mengenai liburan di Aceh ini. Semoga bisa menginspirasi yang lain untuk liburan ke sana.

Kami ke sana mengambil libur panjang 15-18 November 2012. Waktu ke Bengkulu, niatku adalah mencari tempat wisata yang jarang diketahui orang dan aku bisa menikmati alam sepuasnya. Sekarang, Aceh mungkin udah mulai populer sejak bencana tsunami akhir tahun 2004 lalu, tapi tetap dunia pariwisata sepertinya belum terlalu berkembang, terutama di kalangan wisatawan mancanegara. CMIIW. Nah, niatku sekarang nggak kalah menggebu, yaitu berwisata di tempat yang belum terlalu populer, sekaligus wisata kuliner. Oia, selama liburan, aku dibantu teman kuliah, Defri, yang memang asli orang Aceh. Awalnya sih dia mau ikut liburan, tapi ternyata dia baru tau kalau istrinya hamil. Urung bergabung, dia tetap berkomitmen membantu liburan kami selama di Aceh berjalan lancar.


Tanggal (15/11) siang kami tiba di Banda Aceh setelah menempuh perjalanan selama 4 jam, termasuk transit di Medan. Dijemput Defri, kami langsung meluncur ke pelabuhan Ulee Lheue. Terletak di utara Banda Aceh, lokasi ini menjadi penghubung kami ke tujuan wisata utama kami, Sabang di Pulau Weh. Tapi, karena ini libur panjang, tiket kapal sudah habis terjual. Sistemnya memang agak unik, kita harus beli di tempat. Jadi, nggak ada semacam travel agent untuk beli dari jauh2 hari, apalagi beli online, jauh panggang dari api deh. Kami sempat khawatir karena udah booking hotel di Sabang untuk 2 hari. Sayang kan kalau sampai hangus gara2 nggak dapat tiket kapal penyebrangan. Beberapa saat kemudian, petugas lapangan mengumumkan kalau ada kapal tambahan yang akan berangkat jam 5 sore. Orang2 sontak langsung antri di depan loket yang ditunjuk oleh petugas meskipun masih tutup. Setelah "puas" mengantri, akhirnya jam 5 kapal berangkat, dan sampai di Sabang 1 jam kemudian. Dari situ, kami sudah ditunggui oleh teman Defri yang akan mengantarkan kami ke hotel. Di perjalanan, kami sempat berhenti untuk makan malam di Cafe Tepi Aneuk Lot, dengan menu utama mie Aceh. Kenapa mie Aceh, nanti kuceritakan lagi di belakang :) Sekitar jam 8 malam kami sampai di hotel The Point Sabang Resort.

Tanggal (16/11), kami pergi ke pantai belakang hotel. Nggak belakang persis sih, karena cuma ada tebing dan langsung laut berkarang. Kita mesti jalan ke samping, dan ada jalan tembus ke hotel Freddie. Seperti apa pantainya? Lihat aja sendiri. Nggak cukup dengan kata2 untuk menggambarkan keindahannya.



Di pantai ini sebetulnya kita bisa snorkeling. Tapi, karena tujuan utama kami adalah snorkeling di spot ternama di sana, akhirnya kami cuma berenang. Puas bermain, kami sarapan dan langsung bersiap2 menuju Iboih. Di sana, kita bisa snorkeling sepuasnya meskipun waktunya terbatas. Kenapa? Ini dia alasannya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tiba2 menjadi peribahasa yang amat penting di sana.

Sepanjang di Sabang, kami diantar oleh bang Rizal. Saya sengaja sebut, karena ada cerita unik nantinya dibalik nama itu hehe.. Mobilnya pun unik, Mitsubishi Colt Plus. Nggak pernah dengar kan? Mobil itu memang nggak dijual bebas di Indonesia. Berkat statusnya sebagai pelabuhan bebas, Sabang memang kebanjiran mobil impor bekas, terutama dari Singapura. Sekilas mirip Honda Jazz sih.
Kembali ke perjalanan. Berdasarkan masukan dia, kami mengarah ke Tugu Nol Kilometer dulu di ujung barat pulau sebelum ke Iboih selepas Jumatan di masjid raya Sabang. Matahari terlalu terik, kami pun nggak kuat berlama2 di luar mobil. Berfoto sebentar, kami langsung ke Iboih. Di sana, tempatnya luar biasa ramai. Karena libur panjang kali ya. Kami langsung antri di loket untuk sewa kapal yang akan mengantarkan kami ke spot penyelaman. Lucunya, spot penyelaman dibagi dua, pertama untuk wisatawan lokal dan kedua untuk wisatawan mancanegara. Yang untuk bule, lebih jauh dan lebih mahal, tapi lebih indah pastinya. Apa mau dikata, yang penting bisa snorkeling, itu sudah lebih dari cukup. Cuma sekitar 5 menit berlayar, kami sampai di tempat tujuan. Indahnya? Lagi2 susah diungkap dengan kata2. Sayang, kami nggak bawa kamera tahan air. But trust me, we were so stunning. It was extremely beautiful. Kami main sekitar 2 jam saja dan langsung kembali ke hotel untuk makan malam. Di balik kecantikan lautnya, di sana susah mencari kamar kecil untuk buang air kecil dan kamar ganti. Kamipun harus ke masjid setempat untuk bersih2, itupun mesti antri beberapa menit, bersaing dengan wisatawan lainnya.
Malamnya, kami cari makan malam dan mulai menetapkan untuk mencicip mie Aceh di berbagai restoran semampu kami. Kami yakin, mie Aceh di tempat asalnya pasti lebih enak dan punya ciri khas masing2. Malam itu, kami ke suatu kedai, sayang aku lupa namanya. Selain mie, aku juga minum kopi karena katanya kopi Aceh terkenal enak. Padahal aku sendiri jarang minum kopi, tapi berhubung lagi di Aceh kenapa nggak?



Tanggal (17/11) pagi, kami lagi2 main di pantai belakang hotel sampai menjelang siang. Selepas cek out sambil menunggu jadwal kapal sore untuk kembali ke Banda Aceh, kami makan siang, kami sambangi Kedai Kopi Beuna Raseuki. Kata bapak penjualnya artinya banyak rejeki. Rasanya? Aku berani bilang bahwa di sini adalah mie Aceh terenak yang aku makan selama liburan di Aceh, bahkan mengalahkan mie Aceh legendaris di Banda Aceh.

Selepas makan, kami menghabiskan waktu ke Anoi Itam yang berarti pasir hitam dalam bahasa Aceh. Di sana, kami ke benteng Jepang yang letaknya di bawah tanah pinggir tebing. Jadi, wujudnya lebih seperti bukit, tapi ada lubang tempat meriam. Di sana sepi banget, dan sepertinya belum terlalu populer dibanding Iboih atau Tugu Nol Kilometer.


Sore pun tiba, kami menyeberang ke Banda Aceh. Sesampainya di Ulee Lheue, kami ditawari taksi oleh seorang bapak paruh baya. Kamu pun menerima tawarannya. Cerita punya cerita, kami pun akhirnya bersepakat untuk menyewa bapak itu untuk keliling Banda Aceh keesokan harinya sampai waktu kepulangan kami ke Jakarta. Sayang, saya lupa nama bapak itu dan saya kehilangan nomor kontaknya. Tapi, dari cerita dia, bapak itu merupakan satu dari ratusan ribu orang yang merasakan dampak tsunami. Beliau kehilangan istri dan satu orang anaknya. Dia menduga mereka dimakamkan di pemakaman massal dekat bandara Sultan Iskandar Muda.

Malam itu, setelah kami cek in di Hotel 61 di kawasan Peunayong, kami jalan2 di sekitar sana. Pertama, kami makan malam di Mie Razali yang terkenal dengan mie Aceh kepitingnya. Ini mie Aceh ketiga yang kami cicipi. Puas dan lahap setelah menyantap, kami agak ke arah utara dan mencari oleh2, mulai dari kopi Aceh, kain tenun, kaos bergambar khas Aceh, sampai aneka jajanan. Sambil belanja, aku tanya ke beberapa penduduk lokal mengenai lokasi taman kerang. Waktu tinggal di Medan, aku pernah ke sana dengan keluarga. Taman itu terkenal karena memang lapangan luas itu beralaskan kulit kerang. Orang yang makan kerang di sana tinggal buang cangkangnya ke tanah, akhirnya bertumpuk dan jadi ciri khas taman kerang itu. Tapi warga bilang, tempat itu sudah bersih tersapu tsunami. Tempat itu ternyata masih ada meski hanya tinggal nama, tapi di sana masih tetap dijejali dengan para pedagang aneka kerang, mulai dari kerang rebus, sampai sate kerang.


Tanggal (18/11) hari terakhir kami di Aceh, pagi2 aku cari sarapan di luar hotel sambil lihat suasana Minggu pagi. Unik, sedang ada olahraga bersama di tengah jalan, dan ternyata barisannya terpisah. Syariat Islam memang merambah ke segala aspek hidup masyarakat setempat, olahraga di jalanan sekalipun.





Selepas sarapan, kami bertemu dengan bapak taksi itu, lalu mulailah kami menjelajahi Banda Aceh dengan tema tsunami, mulai dari masjid raya Baiturrahman sebagai salah satu tempat berlindung warga saat tsunami menerjang, Lampulo tempat kapal nelayan terdampar di pemukiman penduduk dan sempat menjadi "Noah's Ark" yang menyelamatkan beberapa penduduk yang terseret gelombang tsunami, sampai PLTD apung yang jaraknya sekitar 5 km dari pantai. Bisa dibayangkan dahsyatnya kekuatan tsunami ketika itu. Kami memang nggak banyak ambil gambar selama wisata sejarah tsunami tersebut karena merasa nggak tega dengan para korban.



Menjelang sore, kami meluncur ke arah bandara, tapi kami mampir dulu untuk minum kopi di Dapuh Kupi yang katanya memang terkenal di sana. Dari sana, kami lanjut makan ayam tangkap di RM Aceh Rayeuk yang berarti Aceh Besar sesuai saran bapak taksi itu (berbaju merah). Ayam tangkap itu ayam kampung yang dimasak dengan aneka dedaunan, seperti daun pandan, daun salam koja. Rasanya ruarrr biasa maknyus. Harus dicoba kalau pergi ke Aceh.


Lucunya, kami sempat iseng tanya salah satu nama pelayan, dia menjawab Rizal (berbaju batik hijau di tengah). Sontak kami tertawa lepas. Kami merasa, banyak sekali yang bernama Rizal di Aceh. Mungkin ada suatu masa di mana Rizal menjadi nama favorit di Aceh. Kami pun menceritakan itu ke bapak sopir taksi, dan dia pun menjawab bahwa putranya yang selamat dari tsunami itu juga bernama Rizal. Hmm.. oke. Ini lebih dari lucu hahaha..


Sebagai penutup perjalanan kami, menjelang bandara kami mampir sebentar di kuburan massal untuk mendoakan para korban, termasuk istri dan anak bapak taksi. Semoga mereka sudah tenang di sana. Wisata kali ini nggak sekedar bersenang2 di pantai yang nggak terlalu ramai dan populer, tapi juga wisata religi karena turut mengenang para korban tsunami dan merenungi makna hidup. Selain itu, wisata kuliner yang luar biasa juga semakin melengkapi keceriaan liburan kali ini. Masih banyak tempat wisata yang belum sempat dikunjungi, yang tentunya menjadi daya tarik bagi kami untuk kembali berwisata ke sana.

---
Total pengeluaran per orang +/- 3,17 juta
Tiket p.p. Jakarta-Banda Aceh: 1.628.000
Akomodasi (makan, transportasi, tiket masuk, oleh2): 1.544.000

22 Juli 2012

Momen Hijrah

Barusan nonton Just Alvin di Metro TV dengan tema "Beda Dulu Beda Sekarang". Alvin mendatangkan bintang tamu Yessy Gusman, Astri Ivo, Wanda Hamidah, dan Eddis Adelia. Inti dari kedatangan mereka adalah berbagi kisah dengan pemirsa titik balik dalam kehidupan mereka yang mengubah mereka menjadi seperti sekarang. Sebut saja, Wanda yang berkomitmen terjun ke dunia politik karena kegemarannya berderma sosial sehingga mendorongnya untuk menjadi pejabat yang berkuasa membuat kebijakan yang pro-rakyat. Tidak hanya segelintir, tapi efek dari kebijakannya bisa menyentuh jutaan orang Indonesia.


Lain Wanda, lain pula Eddis. Dia yang sempat mencicipi dunia hedonisme jahiliah disadarkan setelah ibundanya yang begitu dicintainya berpulang. Saking cintanya, agar doanya sampai ke ibundanya, dia hijrah menjadi wanita sholihah sebagai syarat diijabahnya doa.

Lain mereka, lain pula saya. Saya pikir mungkin ada beberapa momen penting dalam hidup yang membuat saya menjadi seperti sekarang. Tidak perlu lah membongkar aib apa yang pernah saya lakukan ketika di masa jahiliah. Alloh Yang Maha Pemurah telah menutupkan aib untuk saya.


Momen pertama adalah ketika orang tua bercerai. Pandangan saya tentang lembaga pernikahan seketika berubah ke arah negatif (meskipun berubah lagi seiring waktu), saya yang jauh dari agama dan bahkan merasa asing, perlahan tapi pasti saya mulai mengenal dan mendekat pada agama.


Momen kedua adalah ketika nonton film Ayat-Ayat Cinta. Pesan yang disampaikan langsung kena ke hati. Apa itu Islam, sampai bagaimana cinta sepasang insan begitu indah dalam Islam dengan taarufnya. Saya yang sempat "terlena" dengan dunia pun lagi2 "ditampar" untuk segera kembali padaNya. Mulai memperhatikan wanita yang tepat untuk dijadikan pendamping, mulai mencintai masjid dan ibadah sunah, itu jadi pengisi hari2 ketika itu. Tapi sayang, lagi2 saya kembali "tertipu" dengan dunia. Apakah Ramadhan tahun ini dan pernikahan saya Oktober kelak akan jadi momen ketiga hijrah saya? Semoga saja. Semoga Alloh swt merahmati saya. Amiin yra.


Published with Blogger-droid v2.0.4

22 Juni 2012

Pengalaman buruk bersama AirAsia

Hmm... Entah mesti mulai dari mana. Awalnya sih, saya berencana pergi ke Solo dan sekitarnya demi merajut masa depan #hayah# sambil ajak adik2 sekeluarga liburan, termasuk pengasuhnya ponakan. Kepanikan pertama datang karena berangkat dari rumah jam 4.37 padahal batas cek in 5.20, sementara waktu tempuh normal dari rumah ke bandara 45 menit. Untung bisa web check-in dan setibanya di sana cuma ke counter baggage drop aja. Padahal, pas kita sampai bandara itu sudah dipanggil untuk boarding.


Kepanikan kedua dan masalah baru kembali muncul, kali ini dari pengasuh. Pengasuh itu dari desa dan dia nggak tau tanggal lahirnya. Waktu saya booking, saya masukkan tgl lahir dia secara asal, yang penting umurnya sesuai dengan pengakuan dia, yaitu 16 tahun. Karena nggak ada KTP, di counter check-in dia ditanya tgl lahirnya tapi pas saya nggak mendampingi dia. Saya pun nggak memberi tau kesepakatan tglnya karena nggak kepikiran. Karena si pengasuh gelagapan, mba counter check-in itu menolak mentah2 si pengasuh untuk ikut bersama kami karena dianggap orang yang berbeda dengan yang diinput ketika booking. Entah saya harus marah, kesal, atau apa. Bahkan mba counter itu menyarankan kami tetap pergi dan meninggalkan pengasuh. What the hell. Kamu pikir dia orang Jkt yang tau jalan dan ada uang untuk kembali ke rumah? Bahkan tgl lahirnya sendiri pun dia nggak tau, apalagi jalanan dan moda transportasi ke Bintaro.


Saya tau, demi keselamatan dan kepentingan bersama, AirAsia harus menerapkan aturan tegas yang berlaku bagi semua orang. Tapi, kalau kasusnya memang orangnya nggak tau tgl lahir gimana coba. Mba di counter check-in itu sampai bilang masa nggak tau tgl lahir. Lah kalau kenyataannya memang nggak tau, gimana? Sudah seharusnya pihak AirAsia bisa mengambil diskresi dalam hal ini. Tidak sekedar aturan baku yang mesti ditegakkan. Rasanya di ranah manapun ada aturan dan diskresi yang berjalan bersamaan tanpa saling tumpang tindih. Bahkan di kebijakan moneter tempat saya bekerja sekalipun.


Saya pun akhirnya beralih ke maskapai lain yang jauh lebih toleran terhadap hal ini. Semoga citra AirAsia tetap baik meskipun perlakuan dan bahasa mba2 di loket tadi, juga tidak adanya ruang untuk diskresi sama sekali tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Saya juga minta maaf karena kasus, kejadian, dan keterlambatan tadi, membuat banyak pihak dirugikan, termasuk mas2 yang pegang walkie talkie sampai harus marah2.


Published with Blogger-droid v2.0.4

09 April 2012

Bengkulu: Ada Wisata Apa di Sana?

Liburan panjang kali ini saya habiskan di Bengkulu. Bengkulu, ada apa di sana? Haha.. Pertanyaan itu keluar dari banyak mulut, mulai dari teman kuliah, teman kantor, bahkan teman kantor yang ditempatkan di Bengkulu sekalipun.

Justru itu, karena (katanya) nggak terlalu banyak yang bisa dilihat dan kurang populer, membuat tiket menuju Bengkulu menjadi sangat murah, bahkan biarpun belinya mepet. Apalagi, kebetulan maskapai Merpati baru saja membuka rute Jakarta-Bengkulu setelah sempat vakum. Liburan ini dibilang mepet karena direncanakan hanya seminggu sebelum berangkat. Saya dengar banyak objek wisata alam, kuliner, dan sejarah yang bisa saya kunjungi. Itu yang membuat saya bersikeras untuk ke sana. Saya cuma berdua dengan Wulan, teman kuliah yang sekarang sama2 kerja di Jakarta. Tapi saya juga akan ditemani teman lainnya di sana yang berminat juga untuk mencari tau ada apa di Bengkulu meskipun mereka sendiri tinggal di sana.

Hanya sekitar 45 menit di angkasa, jam 9 pagi kami sudah berada di Bengkulu. Kesan pertama, bandaranya unik karena nggak jauh dari jalan raya, cukup dengan berjalan kaki. Kesan kedua, ternyata sepi kotanya, lebih mirip Manokwari bahkan. Selain panas, atap rumahnya banyak pakai seng. Bedanya dengan Manokwari, di sini perawakan orangnya sedang khas Melayu, kulit kuning dan sipit mirip orang2 Palembang, dan nggak ada babi2 berkeliaran di jalanan.

Menunggu setengah jam, kami akhirnya dijemput teman2 kantor, Icha, Aya, dan Uut. Berhubung belum sarapan, kami makan dulu. Icha ajak kami ke RM Inga Raya di utara pantai Tapak Paderi dengan resto gaya lesehan. Makanannya sepintas mirip masakan Padang, tapi bedanya, di sini ada tempoyak yaitu udang dengan kuah mirip bumbu gule tapi rasa durian. Luar biasa enak. Tapi supaya nggak kolesterol tinggi, sepulang dari Bengkulu akhirnya saya makan oatmeal sebagai menu sarapan wajib selama beberapa hari hehe..

Selesai makan, kami meluncur ke tengah kota dengan maksud untuk sholat Jumat. Karena saya satu2nya cowok di rombongan kali ini, saya mengalah. Saya didrop di masjid sementara mereka pulang ke hotel. Saya memaksa mau sholat di masjid jamik hasil rancangan Soekarno yang kini menjadi benda cagar budaya. Lucunya, teman2 yang tinggal di Bengkulu bahkan nggak tau kalau masjid itu dirancang oleh bapak proklamator kita.

Selesai jumatan, saya pergi ke hotel. Mm.. sebetulnya bukan hotel sih, tapi lebih seperti kos2an, modelnya mirip dengan yang ada di seputaran Setiabudi dan Karet. Namanya Grand Jitra dengan fasilitas kamar AC, kamar mandi dalam, dan ada sarapan pagi. Musholla dan alat fitness yang cukup representatif pun ada. Sebulan, kamar disewakan 1,5 juta. Nggak berapa jauh beda kan? Khusus untuk sewa harian seperti saya, cukup dengan tarif 95 ribu per hari. Jauh lebih layak ketimbang menginap di hotel. Lokasinya dekat dengan makam penduduk Inggris ketika itu. Sebagian masih tampak terawat, tapi sayang di sebagian yang lain malah dipakai sebagai lahan rumah atau pekarangan penduduk dan kantor administrasi pemerintahan.

Selesai berbenah sebentar di kamar, kami langsung jalan. Itinerary yang saya buat berdasarkan info dari forum, blog, dan peta google ternyata kurang optimal menurut versi teman2. Jadinya, itinerary dirombak total dan saya ikut rencana mereka saja. Tujuan pertama, rumah pengasingan bung Karno dan rumah Ibu Fatmawati karena lokasinya nggak jauh dari hotel dan keduanya saling berdekatan. Kedua rumah itu dalam kondisi terawat dengan baik. Waktu kami datang, tempatnya sepi. Entah karena kurang populer atau memang pas lagi jam2 sepi saja. Nggak ada tiket masuk, tapi kita bayar seikhlasnya saja buat pemandu di sana. Begitu masuk, terlihat perabotan di sana masih lengkap, bahkan ada satu kamar yang berisi lemari besar penuh buku tua dari berbagai bahasa dan tema, mulai dari agama sampai politik. Nggak heran kalau Bung Karno bisa jadi presiden, pintar luar biasa.

Di rumah ibu Fatmawati, ada koleksi baju dan foto beliau, termasuk mesin jahit yang dipakai untuk membuat bendera merah putih yang dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan. Sayang di sana nggak ada penjaganya, jadi kami masuk begitu saja. Kebayang kan kalau ada orang nggak bertanggung jawab masuk sana dan mengambil barang2 bersejarah. Semoga kejadian itu nggak berulang.

Selesai dari rumah mereka, kami menuju Danau Dendam Tak Sudah. Lagi2, teman2 yang tinggal di Bengkulu pun nggak tau sejarah penamaan danau ini. Banyak versi memang, tapi ada versi yang mengatakan bahwa danau ini dulunya dibendung oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi dam, tapi nggak selesai, jadilah nama Dendam Tak Sudah. Entah benar atau nggak, toh nggak mengurungkan niat kami pergi sana. Berbekal informasi Linda, teman Aya asli Bengkulu, kami melewati jalan kecil yang jauh dari layak. Nggak heran nggak banyak orang mau ke sana lewat jalan ini. Jelas nggak ada retribusi untuk ke sana. Begitu kami sampai di tepi danau, pemandangannya menyegarkan mata. Sepi, cuma ditemani suara burung2, udara pun segar. Padahal lokasinya mungkin cuma 10 menit dari pusat kota.

Nggak berapa lama di sana, kami pun meluncur ke Sungai Suci atas rekomendasi Uut. Saya nggak tau itu di sebelah mana, tapi kalau diperhatikan, tempatnya ada di sebelah utara kota Bengkulu. Retribusi hanya 2 ribu per orang. Sekilas tempatnya mirip Tanah Lot Bali, tapi dengan skala jauh lebih kecil dan tanpa pura di ujung semenanjungnya. Selain view-nya yang menarik, yang seru adalah menunggu ombak besar datang memecah daratan. Sampai2, menjelang kami beranjak dari sana, Icha tersiram ombak besar. Rambut lurusnya pun serta merta mendadak bergelombang. Puas teriak dan foto2 dengan anak2 setempat, kami segera beranjak kembali ke kota. Rencananya kami mau lihat sunset di sana.


Sebelum menikmati sunset, kami ke Fort Marlborough, benteng kokoh peninggalan pemerintah kolonial Inggris. Benteng ini berada persis di ujung Pantai Panjang, tepatnya di Tapak Paderi. Uang masuk hanya 2500 per orang. Di sana ada pemandu yang menguraikan sejarah benteng itu, tapi dia nggak ikut sepanjang penyusuran kami selama di benteng. Mungkin sudah sore dan dia capek atau bosan keliling benteng dengan cerita yang sama berulang2 sepanjang dia bekerja di sana hehe.

Benteng ini amat kokoh, tahan terhadap gempa besar yang melanda Bengkulu. Penjara bawah tanah yang pernah dipakai untuk mengurung warga Belanda pun dirancang dengan amat baik, melengkung tanpa topangan tiang. Batu2 bata pun hanya dilekatkan oleh kapur. Benteng ini terdiri dari banyak ruangan, antara lain ruang penyimpanan harta, gudang senjata, bahkan sampai makam. Puas foto2, kami pun pergi ke Pantai Panjang untuk menikmati sunset, tapi sayang begitu sampai di sana, matahari baru saja tenggelam. Yang tersisa hanya semburat jingga di langit dan awan. Alhasil, kami cuma berfoto dan bermain air saja sampai langit benar2 gelap. Dari sana, kami pun makan malam di warung baso nggak jauh dari pantai. Selesai makan, kami pulang untuk istirahat, menyiapkan tenaga untuk besok. Memang kami berencana ke luar kota Bengkulu di hari kedua.


Hari kedua di Bengkulu, kami pergi lagi ke Pantai Panjang setelah shubuh karena rasanya belum puas sore kemarin. Pantainya ternyata lebih dekat dari bayangan saya. Jalan kaki sedikit lewat gang2 sekitar 10 menit, sampailah kami di pantai. Pantainya mungkin agak kotor kalau ke arah Utara, karena memang lebih dekat ke pemukiman. Tapi kalau kita bergerak ke Selatan, pantainya jauh lebih bersih, udara lebih segar. Kalau memang pecinta pantai, nggak akan rugi deh main2 di sini.

Jam 9 pagi, kami berangkat ke luar kota setelah sarapan yang disediakan sama kos. Tujuan pertama kami adalah Curup. Di sana terdapat air terjun dan pemandian air panas Suban. Jaraknya dekat saja, sekitar 60 km. Tapi karena jalannya rusak di sepanjang jalan, waktu tempuhnya sampai 2,5 jam, jauh lebih lama dibandingkan lewat tol Cikampek yang bisa ditempuh 1 jam saja dengan jarak yang sama. Retribusinya agak unik di sini. Pintu pertama, hanya bayar untuk mobil 2 ribu saja. Di dalam, untuk menuju air terjun, kami harus melewati kompleks pemandian air panas. Keluarlah 10 ribu dari kantong kami masing2. Di belakang pemandian itu ada jalan setapak yang menembus hutan kecil sampai kami tiba di air terjun itu. Air terjunnya kecil, nggak sebesar yang dibayangkan. Tapi dasar kampungan, karena saya nggak pernah main atau ketemu air terjun, apalagi airnya bening, sayapun basah2an di sana. Saya memang bawa baju ganti karena memang pengen main air. Dari rencana awal sekitar 2 jam, kami akhirnya puas main di sana sampai 4 jam. Rencana main ke danau dekat situ pun gagal. Kami akhirnya memutuskan langsung pulang, mengingat perjalanan yang bakal lama dan melelahkan karena rusaknya jalan. Tapi, kami sempatkan berfoto dengan orang asli Bengkulu (kesampaian juga akhirnya hehe).


Sebelumnya, kami makan siang dulu (atau makan sore lebih tepatnya) di Pondok Lesehan Ridho. Kata Aya, di Bengkulu lagi happening tuh resto bergaya lesehan. Makanannya khas daerah pantai, serba ikan. Rasa nggak mengecewakan meskipun tempatnya kurang besar. Waktu bayar, saya ngobrol dengan mba kasirnya. Dia bilang ada bunga Rafflesia mekar di Kepahiang. Kebetulan, kabupaten itu kami lewati kalau berangkat dari dan pulang ke Bengkulu. Tanpa pikir panjang, kami pun berencana untuk lihat bunga Rafflesia. Mekarnya nggak mengenal waktu. Kalau memang mekar, harus diburu. Sayangnya, karena mekar di hutan, kita cuma bisa tau bunga itu mekar melalui papan tanda atau spanduk tulisan tangan masyarakat setempat yang dipasang di pinggir jalan raya agar terbaca oleh para pelintas jalan. Sayang hari sudah gelap. Tulisan itu (kalaupun ada) jadi nggak kelihatan. Kami jadi hanya berfoto di alun2 kota Kepahiang dengan bukit berhiaskan kaligrafi Allah.
Sedikit kecewa, besoknya Icha menelpon Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu yang bisa memberikan informasi kalau ada bunga Rafflesia yang mekar. Berdasarkan info mereka, kami mendapat kepastian memang ada bunga Rafflesia yang mekar, tapi sayangnya itu seminggu yang lalu. Kalaupun hari itu kami ke sana, kelopaknya sudah layu. Akhirnya, hari Minggu kami habiskan dengan berkeliling lagi di kota Bengkulu. Kali ini kami ke Tugu Thomas Parr, Fort Marlborough lagi, kawasan pecinan, alun2 dengan menaranya, dan depan rumah dinas gubernur. Kami pun bahkan mengunjungi monumen perjuangan rakyat Bengkulu yang jauh dari kesan megah, bahkan di sana sini cuma ada kaleng lem aibon bertebaran di taman itu. Jauh dari kesan megah karena isinya memang hanya "seonggok" batu menyerupai prasasti. Jauh berbeda dengan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (MPRJB) yang jadi satu kesatuan dengan kawasan Gasibu dan Gedung Sate Bandung yang besar menjulang dan tertata rapi. Sayang sekali. Mungkin suatu saat perlu dibenahi supaya orang lebih menghargai jasa para pahlawan bangsa. Oya, di seberang monumen ini ada hotel menyerupai tabot. Kalau yang belum tau, tabot itu adalah benda semacam tugu yang biasa diarak masyarakat Bengkulu dan dilarung ke laut. Ini dilakukan setiap tanggal 1-10 Muharram. Tabot awalnya dijadikan bagian dari ritual peringatan kematian cucu Nabi, Hassan dan Husain, oleh kaum keturunan Arab yang dipanggil Tabot dan bermukim di Bengkulu. Namun, seiring waktu tabot digunakan untuk festival tahunan pada bulan Muharram tersebut. Ajaibnya, ada orang yang mungkin saking kagumnya sama tabot, dibuatlah hotel menyerupai tabot. Mungkin suasananya agak mencekam karena khawatir roboh, tapi toh nyatanya hotel itu tetap survive dengan keunikannya :)


Selesai keliling kota, kami ke pelabuhan, pantai rahasia, dan dermaga kecil dan terpencil di suatu tempat. Pantai rahasia itu hanya Linda dan masyarakat setempat yang tau. Saya sebetulnya ingat persis di mana tempatnya, tapi katanya tempat itu tetap sengaja dirahasiakan supaya nggak banyak yang datang ke sana dan nggak merusak pantainya yang masih alami dan asri itu. Ke sana kami hanya membayar 2 ribu untuk satu mobil. Begitu sampai, luar biasa. Pantai itu benar2 bersih, panjang, indah, dengan air yang dangkal, banyak karang dan rumput laut. Saya di sana sibuk lari2, lompat2, dan teriak2 sepuasnya. Rasanya bebas, penat hilang, bebas dari gangguan orang lain. Saya pun berjemur di sana, sampai2 kulit menghitam. Peduli amat, toh makin eksotis ;p

Selesai dari pantai, kami lagi2 makan siang untuk yang ketiga kalinya dengan suasana lesehan. Nggak bosan sih, lagian kali ini restorannya menyajikan masakan Sunda. Penataannya bagus, harganya pun murah. Sambil menunggu pesawat sore, kami sholat di masjid raya, lalu foto2 dengan latar Gedung Juang 45. Tak lupa, kami ke toko kain besurek, kain batik khas Bengkulu. Dari namanya, besurek atau bersurat sama artinya dengan menulis. Batik Bengkulu pun sarat dengan tulisan, tapi bentuk kaligrafi huruf Arab. Beda dengan batik2 lain di pelosok nusantara yang tipikal dengan motif bunga, daun, dan benda2 alam. Tempatnya di Toko Gading Cempaka di kawasan Sentra, masih satu area dengan rumah pengasingan Bung Karno. Terakhir, kami mampir jajan Pempek Palembang di warung H. Cek Toni yang terkenal nggak cuma pempeknya, tapi juga es kacang merahnya. Yummy..

Akhirnya, waktunya pulang ke Jakarta. Jadi, kalau ditanya orang ada apa di Bengkulu, silakan buktikan dan nikmati sendiri apa yang ada di sana. Nggak seindah tempat lain yang sudah ditata sedemikian apiknya untuk menarik wisatawan memang, tapi justru Bengkulu menawarkan pesonanya dengan kesederhanaan dan dengan caranya sendiri. Ayo, kunjungi Bumi Rafflesia.. ^_^

---
Total pengeluaran per orang +/- 1,58 juta
Tiket p.p. Jakarta-Bengkulu: 890.000
Akomodasi (makan, transportasi, tiket masuk, oleh2): 690.000

25 Maret 2012

Liburan (lagi) ke Semarang-Solo

Akhirnya, setelah sekian lama, saya liburan lagi. Selain sempat mengalami kendala keuangan, waktu yang tersedia juga terbatas. Jadinya, ini liburan pertama saya sejak 6 bulan terakhir rasanya. Pastinya, saya kelewat semangat menyambut liburan ini. Tujuan kali ini adalah ke Semarang dan Solo. Nggak istimewa buat saya secara pribadi. Bukan apa2, saya pernah tinggal di Semarang selama setahun, jadi ini terasa biasa saja. Tapi, selama saya tinggal di Semarang, tidak ada satupun objek wisata, baik sejarah, kuliner, maupun religi yang pernah saya sambangi. Jelas nggak terpikirkan waktu itu. Sekarang, berbekal itinerary yang dibuatkan teman dan modal pengetahuan saya akan Semarang, saya atur rute wisata kami selama di Semarang. Sebenarnya tujuan awal kami adalah ke Solo, berhubung satu teman saya sudah "ngebet" mau berburu batik di Laweyan. Tapi, karena tiket pesawat ke Solo mahal, kami memutuskan untuk ke Solo via Semarang. Supaya nggak sia2, kami pun berencana menjelajah Semarang selama sehari saja untuk kemudian kami teruskan perjalanan malam harinya ke Solo.


Dengan salah satu maskapai domestik, kami terbang menuju Semarang pagi hari. Sesampainya di sana, kami sudah dijemput oleh mobil sewaan kami. Relatif murah, cukup membayar 550 ribu kami sudah diantar keliling Semarang dan diantar ke Solo, sudah termasuk bensin. Tujuan pertama adalah Kelenteng Sam Poo Kong yang terletak di pinggir Kaligarang, hanya beberapa ratus meter saja dari RS dr. Kariadi. Jam 8 pagi ternyata sudah buka, tapi loket untuk masuk ke kelenteng nggak dibuka. Entah karena masih terlalu pagi atau kelenteng itu hanya boleh dimasuki oleh umat Kong Hu Chu saja. Seolah sudah wajib, kami di sana foto2 dengan beragam pose di tempat yang seolah membawa kami ke negeri Tirai Bambu. Sekitar setengah jam saja di sana, kami menuju rumah makan mbak Lin, warung sederhana yang menjual makanan khas Jawa di seberang RS Telogorejo, nggak berapa jauh dari Simpang Lima. Di sana, menu favoritnya adalah soto ayam dan telur dadar gulung. Kami sudah makan sepuasnya, dan ternyata harga yang harus dibayar untuk 5 orang hanya 57.500 saja. Tipikal memang kalau makan di Jawa, selain enak pasti murah.

Tujuan berikutnya, kami ke Kota Lama. Di sana, saya bawa teman2 ke Gereja Blenduk. Sesuai namanya, gereja ini menjadi unik dan terkenal karena atapnya yang berbentuk kubah, seperti sebuah masjid. Di sana, kami berfoto ala jaman kolonial sambil menunggangi sepeda lama yang disewakan 20 ribu per jam. Kami menyusuri ke bagian dalam Kota Lama dengan sepeda itu sambil berburu angle foto yang menarik. Sekitar sejam di sana, kami melanjutkan perjalanan ke kampung batik yang berlokasi di bundaran pertemuan antara Jl. Ronggowarsito, Jl. KH Agus Salim, Jl. Pattimura dan Jl MT Haryono. Letaknya di sisi timur. Batik, memang Semarang punya batik? Yup, ternyata ada. Memang saya belum pernah dengar ada yang namanya Batik Semarang. Tapi dari hasil pencarian di web, ternyata memang ada. Katanya sih jaman Jepang pembatik2 ini sempat menghilang karena mengungsi ke selatan, entah itu Salatiga, Solo, atau Yogya. Puluhan tahun lamanya, tepatnya tahun 2005, istri Walikota memprakarsai bangkitnya batik Semarang sebagai warisan budaya lokal yang perlu dilestarikan. Sekilas, dari jalan besar nggak kelihatan seperti kampung batik. Apalagi, papan petunjuk yang menandakan kawasan ini sebagai kampung batik pun minim. Tapi, ternyata di dalam kampung ada beberapa toko rumahan penjual batik meskipun masih sepi karena waktu kami datang masih sekitar jam 10 pagi dan toko sebagian masih tutup. Kami pun hanya mendatangi beberapa toko yang sudah buka saja. Sekilas, batik2 ini tampak kurang menarik mata dan selera. Barangkali karena belum pernah lihat, motif yang mereka kembangkan nggak familiar di mata kita yang lebih sering dicekoki dengan batik motif Solo, Yogya, Pekalongan, atau lainnya yang dominan dengan motif kembang. Lain halnya dengan batik Semarang yang didominasi motif daun asem sebagai ciri khasnya, dan beberapa motif landmark Semarang seperti Gereja Blenduk dan Lawang Sewu. AKhirnya, dari sekian toko, saya dapat juga motif batik yang saya suka, cukup dengan 80 ribu saja untuk 2 meter kain batik kombinasi cap dan tulis.

Puas berbelanja, kami mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah yang katanya fenomenal karena ada tenda elektrik seperti yang di masjid besar Arab Saudi. Memang megah dan mewah, tapi karena cuaca terlalu panas, kami semua seperti kelimpungan, bahkan sakit kepala. Nggak lama foto2, kami pun bergerak ke Simpang Lima lagi untuk sholat Jumat buat yang cowok2, dan cuci mata di mall buat yang cewek2 sambil nunggu sholat. Usai sholat, kami pun makan siang di warung Soto Bangkong di perempatan antara Jl. Mataram, Jl. Brigjen Katamso, dan Jl. MT Haryono. Warung Soto Bangkong ini sih katanya yang pertama di Semarang sebelum akhirnya merambah daerah2 lain di Indonesia. Sotonya enak, walaupun buat sebagian teman kurang cocok di lidah karena manis. Kami membayar 72 ribu untuk berlima. Murah bukan?

Selesai makan, kami lanjutkan perjalanan ke Pandanaran untuk beli oleh2. Biarpun kami pulang dari Semarang hari Minggu lusa, tapi kami ambil pesawat pagi, jadi nggak akan sempat beli oleh2, makanya kami sempatkan belinya hari Jumat ini. Di sana, kami ke toko bandeng Juwana. Nggak cuma bandeng, kami beli beberapa panganan lain seperti lumpia, cookies, tahu bakso, dan lain2. Sejam berburu makanan, kami lanjut ke kawasan Tugu Muda. Di sana, kami mampir ke Lawang Sewu yang dulunya terkenal angker. Sekarang, bangunan ini sudah dikembalikan fungsinya oleh PT KAI yang memang menjadi pemilik gedung ini, tapi lebih dominan sebagai museum. Sayang, gedung A yang menjadi bangunan utama di sisi jalan sedang ditutup karena ada pemugaran lanjutan. Tapi kami cukup puas mengunjungi gedung lainnya yang ada di kompleks itu. Dengan tiket masuk 10 ribu per orang, harusnya kami dapat pemandu. Tapi karena kebetulan sore itu lagi ramai, kami jalan sendiri. Untungnya di sana ada peta panduan jelajah museum, jadi nggak salah arah dan optimal. Foto2, itu sudah pasti, apalagi dengan latar puluhan pintu, jendela, dan pilar, membuat hasil foto lain dari yang lain. Di depan museum terdapat lokomotif tua yang jadi objek foto lainnya yang nggak kalah menarik. saya lupa lihat tahun pembuatannya, tapi dari bentuknya, saya yakin itu pasti buatan akhir abad ke-19.

Selesai keliling, kami berfoto di seberang Tugu Muda. Tanpa berlama2, kami pun segera meluncur menuju Solo jam 4 sore itu. Kebetulan, perjalanan ke Solo melewati Banyumanik. Nggak jauh dari sana, ada Pagoda Avalokitslava, rumah ibadah umat Buddha. Lagi2, bangunan ini seolah membawa kami ke China seperti di kelenteng tadi pagi. Di sana ada orang yang sedang sembahyang, jadi kami cuma berfoto2 di depan pagoda saja. Masuk ke pagoda sini nggak dipungut bayaran, tapi kata pak satpamnya seikhlasnya saja. Hari makin sore, kami pun meluncur ke selatan menuju Solo. Keluar Semarang, kami mampir di Ungaran sebentar. Saya sempatkan ketemu saudara2 saya meskipun cuma setengah jam. Nggak puas ngobrol, tapi kami tetap harus lanjutkan perjalanan, tapi sebelum itu kami sempatkan ke toko tahu bakso Ibu Pudji yang terkenal itu. Relatif murah, 1800 per buah, saya pun borong 6 kotak masing2 isi 10 ;)

Sekitar 2 jam perjalanan saya habiskan untuk tidur karena sakit kepala sejak tadi siang. Sampai di Solo, kami langsung menuju guest house yang sudah kami pesan. Letaknya di Monumen 45, nggak jauh dari Stasiun Solobalapan. Malam itu, karena kecapekan, kami pesan makan lewat penjaga guest house. Habis makan pun kami langsung tidur. Rencana awal kami makan gudeg yang terkenal karena jualan mulai jam 2 pagi pun batal karena terlalu capek. Bahkan, rencana mengunjungi beberapa objek wisata pun akhirnya batal karena selain mau fokus belanja di Laweyan, sorenya pun kami harus sudah kembali ke Semarang. Dengan bermodalkan 2 becak, kami menuju Laweyan setelah sarapan di warung gudeg Ayu di dekat hotel. Untuk berlima dan 2 abang becak, kami cukup merogoh kocek 100 ribu saja. Tanpa buang waktu, kami ngubek2 Laweyan. Saya sibuk menyusuri gang, cari toko yang pernah saya datangi 3 tahun yang lalu. Lupa2 ingat, akhirnya ketemu. Nama tokonya Saud Effendy, bentuknya rumah biasa dan nggak ada papan pengenal toko. Tapi itu yang membuatnya unik. Saya borong 2 baju batik di sana, sambil melihat2 pembuatan batik cap dan tulis di workshop belakang rumah. Pembuatannya unik dan butuh stamina pastinya karena udara panas dan pengap, apalagi banyak asap dari tungku pemanasan lilin. Sekitar 4 jam di sana, kami masing2 sudah bawa tentengan. Selesai sholat dan makan, dua becak berpisah. Satu ke arah pasar Gede karena teman mau beli titipan papanya di Yogya, sementara saya ke arah pasar Klewer karena mau ke Danar Hadi. Selesai belanja, kami ke Orion untuk beli kue mandarijn yang terkenal itu. Sayang, karena sudah jam 3 sore, kue itu sudah ludes terjual. Kamipun akhirnya beli bolu gulung saja. Pulang ke guest house untuk packing, kami lalu meluncur Slamet Riyadi dengan taksi avanza untuk kembali ke Semarang pakai Joglo Semar, travel andalan saya. Sambil menunggu keberangkatan, saya cari jajanan di pinggir jalan. Ternyata banyak yang jual nasi kucing. Dua bungkus tambah tempe bacem dan sosis ayam, saya hanya perlu membayar 4 ribu saja.

Akhirnya jam 5 sore kami pun kembali ke Semarang. Sesampainya di sana, kami dijemput teman kantor yang bertugas di sana. Kami pun dibawa makan2 di Taman KB di Jl. Menteri Supeno. Dulu daerah ini nggak terawat, gelap, dan banyak banser (banci serem) berkeliaran. Tapi sekarang, tempat ini sudah terang, bersih, dan jadi tempat nongkrong anak muda menghabiskan malam minggu. Di sana, akhirnya saya makan yang namanya Tahu Gimbal setelah penasaran sejak pertama saya tinggal lama di Semarang tahun 1999 lalu. Ditemani es duren, kami mengobrol semalam suntuk. Esok shubuh, kami pun ke bandara untuk pulang ke Jakarta. Lunpia sudah jadi oleh2 yang wajib saya bawa. Cukup telp Lunpia Express sehari sebelumnya, mereka bisa antar ke bandara meskipun jam 5 pagi sebelum tokonya sendiri buka. Meskipun libur hanya 2 hari dan lebih didominasi belanja batik, tapi nggak mengurangi semangat untuk berlibur. 2 minggu lagi ada libur panjang, ke mana ya baiknya? ;)

---
Total pengeluaran per orang +/- 1,6 juta
Tiket p.p. Jakarta-Semarang: 1.169.600
Akomodasi (makan, transportasi, tiket masuk, oleh2): 548.000

14 Maret 2012

SKJ 88: memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat

Malam sebelum tidur, tiba2 terlintas pengen lihat youtube, siapa tau ada video senam SKJ 88 yang super duper beken pada masanya. Musiknya saja sudah tertanam kuat di memori. Makin penasaran jadinya. Buka sebentar, yap, ada memang videonya. Dari 237 juta rakyat Indonesia, senggaknya pasti ada 1 orang yang tergerak mengunggahnya hehehe.
Awalnya, saya agak lupa dengan gerakan senamnya, tapi setelah lihat videonya, saya mulai ingat. Gerakannya sederhana, tapi cukup gampang diingat dan diikuti orang. Dengan begitu, semua generasi sebetulnya bisa melakukannya, mulai dari anak2 sampai orang tua. Entah siapa yang merancang gerakan dan menciptakan lagunya, tapi kombinasi keduanya membuat senam SKJ 88 menjadi favorit masyarakat dengan caranya sendiri. Ada yang dibuat rutin setiap hari jumat di sekolah, ada juga yang dibuat sebagai bahan ujian ebta praktek.
Senam SKJ 88 ini menjadi bagian kampanye pemerintah Orde Baru dalam memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Upaya ini nggak lain untuk mencetak generasi yang sehat, kuat, nggak loyo, dan bisa diandalkan. Upaya ini berjalan seiring dengan program pemerintah Orde Baru lainnya yang dalam teori ekonomi dikenal dengan istilah "pertumbuhan ekonomi yang berkualitas". Pertumbuhan ini ditandai dengan penurunan kemiskinan dan pengangguran, naiknya pendapatan per kapita, berkurangnya kesenjangan sosial, meningkatkan rasa aman di masyarakat, juga disertai dengan mudahnya mengakses fasilitas dasar terkait infrastruktur, pendidikan, kesehatan, teknologi, inovasi, dan ketahanan pangan. Sebut saja di antaranya, program KB, posyandu, puskesmas, siskamling, swasembada pangan, kontrol harga pangan strategis melalui BULOG, pendidikan wajib belajar (wajar) 9 tahun, pembangunan industri pesawat terbang, pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, irigasi dan bendungan, sampai senam SKJ 88 ini.
Terlepas dari dugaan adanya sisi kelam Orde Baru dalam hal penegakan HAM, kebebasan berpendapat, dan korupsi yang tersistematis, Orde Baru setidaknya menaruh perhatian besar pada penciptaan kualitas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas manusia Indonesia yang dirasa sangat akseleratif dan progresif ketika itu. Apa yang mereka lakukan sejalan dengan teori pertumbuhan ekonomi endogen, di mana peran manusia sangat penting dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable) mengingat peran kapital yang akan semakin terbatas dalam jangka panjang akibat adanya diminishing return to capital.
Memang banyak hal buruk di masa lalu yang sudah menjadi bagian dari sejarah, tapi masih nggak kalah banyak hal positif di masa lalu yang sejatinya masih bisa kita lestarikan, salah satunya senam SKJ ini. Nggak terasa 24 tahun yang lalu saya pelajari, ikuti, dan ingat gerakan senam itu. Rasanya sekarang perlu menggalakkan program penyehatan massal itu lagi untuk generasi mendatang. Program lainnya yang sempat terhenti idealnya dihidupkan kembali untuk menjamin peningkatan kualitas manusia Indonesia ke depan. Semoga!

Mengenai Saya

Foto saya
Sedikit pendiam, perfeksionis, dan ingin menebar kebaikan buat orang sekitar